Minggu, 20 Januari 2013

lafadz dan dalalah

C. LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’ bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Untuk mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di ungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori ulama tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antara tingkatan-tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.
2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya.
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah
2.1.1 Zhahir
Berikut beberapa definisi tentang Zahir:
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143)
Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah lain.
Masing-masing dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
2.1.2 Nash
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash.
2.1.3 Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
2.1.4 Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.
2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya
terhadap penetapan Hukum
2.2.1 Pertentangan antara zhahir dan nash
Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)
”dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa :24)
yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja (Nash).
”Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan), maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat.Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-Nisa : 3).
Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
2.2.2 Pertentangan antara Muhkam dengan Nash
Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan dibatasi empat orang (Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
2.2.3 Pertentangan antara Nash dengan Mufassar
Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani, I : 299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat, sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat, sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.
2.2.4 Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS. Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya”
Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
2.3 Tingkatan- Tingkatan Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafi’iyyah)
Menurut Imam Syafi’i tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Imam Asy-Syafi’i, nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-masing, Nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali, “Suatu lafazh yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat maupun takwil jauh.“ Dan ” Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta muncul dari dalil. Adapun kemungkinan yang didukung dengan dalil maka lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.” (Al–Gazali, I, 1322 H, : 385- 386).





http://ruqi86.blogspot.com/2011/04/metode-istinbat-hukum-islam-2-metode.html?zx=1be6b0555df46b12

METODE ISTINBAT HUKUM ISLAM 2 (METODE BAYANI)

Metode bayani adalah suatu penjelasan secara komprehensif terhadap teks nas untuk mengetahui bagaimana cara lafal nas menunjukkan kepada hukum yang dimaksudkannya. Dalam kajian ini ijtihad cenderung dipandang sama dengan tafsir sebagai penjelasan terhadap maksud-maksud nas dengan memasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik). [1]
Sedangkan secara lebih sempit Muhammad Salam Madkur menjelaskan bahwa yang dimaksud ijtihad bayani adalah : [2]
بَذْلُ اْلجُهْدِ لِلتَّوَصُّلِ اِلَى اْلحُكْمِ اْلمُرَادِ مِنَ النَّصِّ الظَّنِّيِّ الثُّبُوْتِ أَوِ الدَّلاَلَةِ أَوْ هُمَا مَعًا
“Upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai hukum yang dikehendaki dari teks nas} yang z}anni, baik secara wurud maupun petunjuknya atau kedua-keduanya.”

Metode secara literal ini dapat dibagi ke dalam empat bagian pembahasan. Pertama dari segi jelas tidaknya, kedua segi dalalah-nya, ketiga dari luas-sempit cakupan maknanya dan keempat dari segi bentuk-bentuk yang digunakannya untuk menyatakan taklif. [3]

1.Segi jelas tidaknya lafal (بِاعْتِبَارِ اْللَفْظِ لِلْمَعْنَى)
Dilihat dari segi petunjuk lafal atas maknanya dalam hal kejelasan dan tidaknya maka lafal dapat dibagi menjadi dua, yaitu lafal yang petunjuk maknanya jelas (wad}ih ad-dalalah) dan ada pula yang tidak jelas (khafi ad-dalalah / gairi wadih ad-dalalah).

a.Wadih al-Dalalah
Yang dimaksud dengan Wadih ad-dalalah adalah: [4]
مَا دَلَّ عَلَى مَعْناَهُ بِصِيْغَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى أَمْرٍ خَارِجٍ
“Lafal yang menunjukkan pada maknanya dari segi bentuknya tanpa mencari penjelasan dari luar”

Lafal-lafal yang jelas ini membawa konsep untuk bisa dimengerti tanpa perlu adanya interpretasi. Ketentuan yang dikemukakan dengan menggunakan kata-kata yang jelas menjadi dasar dari kewajiban tanpa perlu adanya takwil. [5]
Menurut ulama Hanafiyah lafal yang petunjuk maknanya jelas terbagi menjadi empat, yaitu zahir, nas, mufassar dan muhkam. Dalam hal ini kejelasan dalalah-nya adalah menurut tertib urutannya dari belakang, dengan kata lain lafal muhkam menjadi lafal yang paling jelas dalalah-nya. Sedangkan manfaat dari perbedaan ini akan tampak ketika terdapat kontradiksi.

1)Lafal zahir
Muhammad Salam Madkur memberikan pengertian lafal zahir sebagai : [6]
اَللفْظُ بِاعْتِبَارِ دَلاَلَتِهِ عَلىَ مَعْنَى مُتَبَادُرٍ مِنْهُ وَلَيْسَ مَقْصُوْدًا أَصَالَةً مَعَ احْتِمَالِهِ التَّفْسِيْرَ وَالتَّأْوِيْلَ وَقُبُوْلِهِ النَّسْخَ فِيْ عَهْدِ الرِّسَالَةِ
“Lafal yang maknanya dapat diperoleh tanpa pikir panjang tetapi tidak dimaksudkan sebagai makna pokok, ia dapat menerima tafsir, ta’wil dan nasakh pada zaman risalah”.

Atau bila menurut penjelasan M. Hashim Kamali adalah kata yang mempunyai makna yang jelas atau menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar tetapi terbuka bagi adanya takwil, terutama karena makna yang dibawanya tidak sesuai dengan konteks di mana kata itu terdapat. Ia merupakan kata yang mempunyai makna harfiyah/makna asli dari dirinya yang membuka kemungkinan bagi interpretasi yang berbeda. Lafal ini wajib diamalkan selama tidak ada dalil yang menafsirkan, mentakwil, atau me-nasakh-nya. [7]
Contoh dari lafal zahir adalah :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَقْسِطُوْا فِي اْليَتَامَى فاَنْكِحُوْا مَا طاَبَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُباَعَ. . .
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat… ” (QS. Al-Nisa’: 3)

Dalam ayat tersebut terdapat dua ketentuan: Pertama, perintah untuk mengawini wanita-wanita yang disukai dan kedua adalah perintah untuk membatasi jumlah istri dalam satu periode sebanyak empat orang. Perintah yang pertama bukanlah maksud pokok, ia adalah maksud taba>’iyyah (ikutan). Sedangkan maksud pokoknya adalah pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawin dalam satu periode. [8]

2)Lafal nas
Yang kedua adalah lafal nas yaitu lafal yang menunjukkan makna pokok dalam konteks pembicaraan. Ia dapat ditafsir dan ditakwilkan serta dapat di nasakh pada zaman risalah.[9] Contohnya firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتِ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍقلى
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. ” (QS. Al-Baqarah : 228)

Dalam ayat tersebut terdapat lafal al-mutallaqat (wanita-wanita yang dicerai oleh suaminya). Ia termasuk lafal ‘am yang tetap akan keumumannya selama tidak ada dalil yang membatasinya. Lafal al-mutallaqat ini dibatasi oleh surat at-Talaq ayat 4 yang menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan dan surat al-Baqarah ayat 234 yang menyatakan bahwa ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.

3)Lafal mufassar
Secara sederhana lafal mufassar dapat diartikan sebagai [10]
مَا دَلَّ بِنَفْسِهِ عَلَى مَعْنَاهُ اْلمُفَصِّلُ تَفْصِيْلاً لاَ يَبْقَى مَعَهُ احْتِمَالِ لِلتَّأْوِيْلِ
“Nas yang dengan sendirinya dapat menunjukkan pada artinya yang terinci dan tidak ada kemungkinan takwil baginya”

Sebagian ulama seperti Wahbah az-Zuhaili menambahkan keterangan bahwasanya lafal mufassar walaupun tidak menerima tafsir atau takwil tetapi masih dapat menerima nasakh di zaman risalah. [11]
Lafal Mufassar dapat dibedakan menjadi dua yaitu lafal yang mufassar karena zatnya, yaitu lafal yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain. Kedua adalah lafal yang mufassar karena yang lain, yaitu lafal yang memerlukan penjelasan dari ayat atau hadis yang lain. Misalnya adalah surah an-Nisa’ ayat 29 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...” (Q.S. an-Nisa’: 29).

Ada dua perintah yang dapat ditangkap dalam ayat ini. Pertama, mencegah untuk memakan harta dengan cara yang batil dan yang kedua perintah untuk melakukan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling merelakan. Kebolehan atas perniagaan yang berdasarkan saling keridaan termasuk mufassar. Ia tidak dapat ditafsirkan dan ditakwilkan. Akan tetapi, ia dapat dibatasi keumumannya oleh dalil lain yaitu berdasarkan sabda Nabi Muhammad s.a.w tentang perniagaan garar.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَارِ
“Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang dilakukan dengan cara yang garar”

4)Lafal Muhkam
Sedang lafal muhkam dapat diartikan dengan lafal yang dengan sendirinya menunjukkan pada makna yang jelas dan dalam hal ini tidak menerima adanya takwil dan tafsir dan juga nasakh, baik di zaman kenabian atau sesudahnya. Di antara ayat yang dijadikan contoh oleh ulama dalam memperjelas lafal muhkam adalah firman Allah surah al-Isra’ ayat 23:
وَقَضى رَبكَ أَلا تَعْبُدُوْا الا ايَاهُ وَباْلوَالدَيْن احْسَاناً
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Q.S. al-Isra’ : 23).

Perintah untuk menyembah hanya kepada Allah dan perintah berbuat baik kepada ibu – bapak merupakan lafal muhkam. Ia tidak dapat ditafsirkan atau ditakwilkan dengan arti lain, dan juga tidak di-nasakh pada zaman kenabian. [12]
Sedangkan menurut ulama ushuliyyin lafal yang demikian hanya dapat dibagi atas dua bentuk yaitu:

1)Lafal zahir
Lafal zahir dimaksudkan dengan sesuatu (lafal) yang menunjukkan pada maknanya dengan penunjukkan yang bersifat zanni, dan dalam hal ini dapat menerima takwil. Munculnya penunjukkan itu bisa jadi dari tatanan kebahasaan seperti penunjukan lafal ‘am atas segala bentuk mufradnya atau dalam segi pengertian seperti penunjukkan kata shalat menurut pengertian syara’. [13] Dalam pengertian ini maka zahir mencakup pada pengertian lafal zahir dan nas dalam pandangan Hanafi.

2)Lafal nas
Lafal nas adalah lafal yang tidak menerima takwil atau lafal itu menunjukkan pada suatu makna dengan penunjukan yang qat’i. [14] Dalam pengertian yang demikian maka akan mencakup pengertian dari lafal mufassar dalam pandangan ulama Hanafiyah.
Adapun muhkam dalam pandangan jumhur terasimilasi pada lafal nas, dan zahir, di mana lafal tersebut menunjukan pada maknanya dengan penunjukan yang jelas, baik penunjukannya secara zanni atau qat’i. [15]

b.Khafi ad-dalalah
Khafi ad-dalalah adalah : [16]
مَا لاَ يَدُلُّ عَلىَ اْلمرُاَدِ مِنْهُ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ بَلْ يَتَوَقَّفُ فَهْمَ اْلمُرَادِ مِنْهُ أَمْرُ خَارِجِهِ
“Lafal yang tidak menunjukkan pada makna sebenarnya, akan tetapi menunjukkan pada pengertian sesuatu diluarnya ”

Seperti pada pembagian wadih ad-dalalah, ulama Hanafiyah membagi khafi ad-dalalah menjadi empat bagian yaitu al-khafi, al-musykil, al-mujmal dan al-mutasyabih.

1)al-Khafi
Al-khafi dapat diartikan sebagai:
مَا كَانَ ظَاهِرُ الدَّلاَلَةِ عَلَى مَعْناَهُ لَكِنْ عَرَضَ لَهُ شَيْئٌ مِنَ الْخَفَاءِ بِسَبَبِ لَفْظِهِ
“Lafal yang jelas maknanya tetapi karena sebab lain maka ia menjadi samar”

Tegasnya, lafal zahir bisa menjadi khafi bila diterapkan pada masalah lain di mana masalah tersebut tidak sama persis dengan apa yang terdapat pada kata itu. [17] Sebagai contohnya adalah pengertian as-sariq pada surat al-Maidah ayat 38:
اَلسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.

Lafal sariq dalam ayat di atas sudah jelas yaitu orang yang mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanan dengan cara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi ia menjadi samar apabila dihubungkan dengan pencopetan, korupsi dan pencurian kain kafan. [18]

2)Al-Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertianya dan ketidakjelasan itu disebabkan kata tersebut dipergunakan untuk beberapa pengertian yang berbeda, sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar.[19] Misalnya kata quru’ dalam surah al-Baqarah ayat 228 :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”

Kata quru’ dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai masa suci atau masa haid, di mana pengambilan kesimpulan akan makna tersebut didasarkan pada qarinah (petunjuk) atau dalil dari luar yang berbeda pula.

3)Al-Mujmal
Lafal mujmal yaitu lafal yang mengandung makna secara global yang tidak bisa dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal itu sendiri (syari’). [20] Misalnya kata shalat, zakat dan haji.

4)Lafal Mutasyabbih
Lafal mutasyabbih yaitu lafal yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syari’ sehingga pihak yang mengetahui maksudnya hanyalah pembuat syariat itu sendiri. [21]
Berbeda dengan ulama Hanafiyah yang membagi segi ini menjadi empat bagian, maka ulama mutakallimin hanya membaginya menjadi satu bagian saja, yaitu mujmal atau mutasyabih. Dalam hal ini mujmal merupakan bagian dari pada mutasyabbih.[22] Selain itu mereka juga berbeda dalam memberikan definisi tentang lafal ini, namun secara umum dapat dikatakan sebagai lafal yang menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas. [23]

2.Segi Dalalah (بِاعْتِبَارِ كَيْفِيَةِ دَلاَلَةِ اْللَفْظِ عَلَى اْلمَعْنَى)

Ulama Hanafiyah membedakan penunjukan lafal terhadap maknanya menjadi empat, yaitu dilalah al-‘ibarat, dilalah al-isyarah, dilalah an-nas dan dilalah al-iqtida’.
a.Dilalah al-‘ibarat yaitu penunjukan kata terhadap makna secara tidak pikir di mana maksud pokok atau tambahannya dapat diketahui berdasarkan susunan kalimatnya. Atau dalam pengertian yang lebih ringkas adalah mengamalkan zahir lafal dari sisi siyaq al-kalam. [24] Misalnya firman Allah surah al-Nisa’ ayat 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَقْسِطُوْا فِي اْليَتمى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنى وَثُلثَ وَرُبعَصلى فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْج ذَا لِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُوْلُوْا. . .
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. an-Nisa’: 3).

Dari segi susunan kalimat, maksud pokok dalam ayat tersebut adalah kewajiban mengawini seorang istri saja bila khawatir tidak mampu berlaku adil.
b.Dilalah al-isyarat secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu makna yang didapatkan berdasarkan penelitian yang mendalam. Ia tidak termasuk makna yang tesurat, tetapi yang tersirat. Misalnya firman Allah surat al-Baqarah ayat 236:
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةًج وَمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى اْلمُوْسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى اْلمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَعًا بِاْلمَعْرُوْفِصلى حَقًا عَلَى اْلمُحْسِنِيْنَ.
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang makin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. al-Baqarah: 236).

Dari ayat tersebut dapat ditangkap makna tersembunyi (isyarat) bahwa pernikahan sah tanpa penentuan jumlah dan jenis mahar yang merupakan hak istri. [25]
c.Dilalah nas atau dilalah ad-dilalah yaitu: [26]
دَلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى تَعْدِيِ الْحُكْمِ اْلمَنْطُوْقِ بِهِ إِلىَ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِيْ عِلَّةٍ يُفْهَمُ كُلَّ عَارِفٍ بِالْلُغَةِ أَنَّهَا مَنَاطُ الْحُكْمِ
“Penunjukan lafal terhadap keterlampauan batas hukum yang tersurat pada sesuatu yang tersirat karena kesamaan illat, di mana orang akan mengetahuinya secara bahasa sebagai manat al-hukmi.”

Salah satu contoh yang dibuat oleh ulama dalam menjelaskan dilalah al-dilalah adalah surat an-Nisa ayat 10 :

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَكُمُ اْليَتمى ظُلْمًاإِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya an mereka akan masukke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS. An-Nisa’: 10).

Secara tersurat ayat tersebut berbicara tentang larangan untuk memakan harta anak yatim dengan zalim. Ulama berpendapat bahwa illat cegahan tersebut adalah kelaliman. Oleh karenanya setiap bentuk kelahiran terhadap harta anak yatim, baik dimakan, dirusak atau dimunahkan dilarang.
d.Dilalah al-iqtida’ yaitu : [27]
دِلاَلَةُ الْكَلاَمِ عَلىَ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ يَتَوَقَّفُ صِدْقَ الْكَلاَمِ أَوْ صِحَّتَهُ شَرْعًا عَلَى تَقْدِيْرِه
“Penunjukkan kalimat terhadapmakna yang tidak disebutkan, di mana kalimat tersebut dapat dimengerti dengan cara memperkirakannya.”

Secara umum dilalah iqtida’ dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: [28]
1)Ditentukan dengan pertimbangan kebenaran kalimat. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Dihilangkan dari umatku, kesalahan, lupa dan karena terpaksa ”
Secara zahir kalimat hadis ini mengatakan akan ditiadakannya baik kekeliruan, lupa maupun keterpaksaan dari umatku. Namun hal ini bertentangan dengan sebuah keniscayaan yang ada. Oleh karenanya hadis tersebut dipahami dengan:
رُفِعَ(إثم) عَنْ أُمَّتي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Dihilangkan (dosa) dari umatkan kesalahan, lupa dan karena terpaksa”

2)Ditentukan dengan pertimbangan keshahihan kalimat berdasarkan akal. Hal ini seperti firman Allah surat Yusuf ayat 82:
وَاسْئَلِ اْلقَرْيَةَ اَّلتِيْ كُنَّا فِيْهَا..
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ.” (Q.S.Yusuf: 82).

Berdasarkan akal tidaklah mungkin jika suatu negeri dapat ditanya. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah penduduk negeri tersebut.
3)Ditentukan dengan pertimbangan kesahihan kalimat secara syar’i. misalnya firman Allah surat an-Nisa’ ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibumu…” (Q.S. an-Nisa’ : 23).

Para ulama menafsirkan pernyataan haram tersebut sebagai keharaman untuk menikahi seorang ibu.
Sedangkan jumhur ulama ushul membagi petunjuk kalimat dalam bentuk ini menjadi dua yaitu al-mantuq (petunjuk teks yang mengacu pada ungkapan eksplisit) dan al-mafhum (petunjuk teks yang mengacu pada makna implisitnya).

a.Dilalah mantuq adalah: [29]
دِلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى مَعْناَهُ الْوَضْعِيْ أَوْ عَلَى جُزْئِهِ
“Penunjukkan lafal terhadap sempurnanya makna baik terhadap keseluruhan makna atau sebagainya.”

Penjelasan lain dikemukakan oleh M. Adib Shalih mengenai dilālah mantuq ini sebagai penunjukkan lafal terhadap hukum yang disebutkan dalam kalimat, baik secara mutabaqat, tadamun maupun iltizam.[30] Contohnya adalah firman Allah surat al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا..
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al-Baqarah: 275).

Dalam ayat tersebut terdapat pernyataan yang jelas mengenai hukum jual beli dan riba.
b.Sedangkan mafhum diartikan sebagai penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafal yang tidak sarih. Dilalah ini diklasifikasikan oleh ulama menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mukhlafah.

1)Mafhum muwafaqah
Wahbah az-Zuhaili mendefinisikannya sebagai : [31]
دِلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ الْمَذْْكُوْرِ لِلْمَسْكُوْتِ عَنْهُ لاِشْتِرَاكِهِمَا فِيْ عِلَّةِ اْلحُكْمِ اْلمَفْهُوْمَةِ
“Penunjukan lafal atas ketetapan hukum yang disebutkan terhadap yang tidak disebutkan, karena keduanya mempunyai illat hukum yang sama-sama dapat dipahami dengan jalan bahasa”

Dalam pembagian Hanafiyah, dilalah dalam pengertian ini merupakan dilalah nas. contonya adalah firman Allah:
وَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ...
“janganlah berkata uff kepada kedua orang tuamu”

Larangan berkata “uff” dalam ayat ini juga menunjukkan pada larangan untuk memukul.

2)Mafhum Mukhalafah
Ialah : [32]
دِلاَلَةُ اْلكَلاَمِ عَلى نَفْيِ الْحُكْمِ الثَّابِت لِلْمذكور عَنِ اْلمَسْكُوْتِ لاِنْتِفَاءِ قَيِّدٍ مِنْ قُيُوْدٍ الْمَنْطُوْقِ
“Penunjukan kalimat untuk meniadakan hukum yang tersurat pada hukum yang tersirat, karena adanya keterkaitan qayyid”

Menurut ulama syafi’iyyah, mafhum mukhlafah dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu : [33]

a.Mafhum laqab
Yang dimaksud mafhum al-laqab adalah makna yang tersembunyi dar lafal yang menunjukan pada gelar. Salah satu contohnya adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w tentang penundaan pembayaran hutang yang berbunyi:
مَطْلُ اْلغَني ُظلْمٌ يَحل عرْضُهُ وَعُقُوْده
“orang kaya yang menunda pembayaran utang adalah zalim, maka halal kehormatan dan sanksi terhadapnya”

Penangguhan hutang dapa dilakukan oleh orang kaya maupun orang miskin, pengagguhan hutang yang dilakukan orang kaya menurut hadis di atas adalah suatu kezaliman. Hal ini berbeda bila dilakukan oleh orang miskin. Pemahaman seperti ini disebut menyimpang (mukhalafah) dari ketentuan umum dalam al-Qur’an yaitu ketidakbolehan berlaku zalim bagi siapapun. Allah S.wt berfirman :
قَََدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ُظلْمًا...
“Dan sesunggunya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman..” (Q.S. Thaha: 111).

b.Mafhum hasr
Yang dimaksud dengan mafhum al-hasr adalah makna tersembunyi dari lafal yang menunjukan batasan (hasr). Misalnya sabda Nabi Muhammad s.a.w
إنمَا اْلأَعْمَالُ بالنيَات...
“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya”

Makna mantuq hadis tersebut menunjukan pada batasan amal yang diniatkan. Sedangkan makna mafhum-nya menunjukan atas ketiadaan amal yang tidak disertai dengan niat.

c.Mafhum Sifah
Yang dimaksud dengan mafhum ash-Shifah adalah makna tersembnyi dari lafal yang menunjukan sifat. Misalnya firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ اْلمُحْصَنتِ فَمْنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيتِكُمُ اْلمُؤْمِنتِ..
“Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..” (Q.S. an-Nisa’ : 25).

Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah keharaman menikahi budak yang tidak beriman (bukan muslimah).
d.Mafhum gayah
Yang dimaksud dengan mafhum gayah adalah makna tersembunyi dari lafal yang menunjukan tujuan (gayah). Misalnya firman Allah:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتى يَتَبَينَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ منَ الْخَيْط الْأَسْوَد منَ اْلفَجْر ثُم أَتم الصيَامَ الَى اْلَليْل..
“..dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajr. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..” (Q.S. al-Baqarah: 187) .

3.Segi luas-sempit cakupan maknanya
Dalam pembahasan ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: [34]
1)Al-Khas
Khas adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satu makna. Adakalanya menunjukkan nama seseorang atau menunjukkan pada al-nas’ seperti kata rajul (orang laki-laki) atau juga menunjukkan pada jenis tertentu seperti al- insan (manusia).

2)Al-‘Am
Lafal ‘am adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan makna-makna tertentu tanpa batas yang mencakup semua satuan-satuannya. Dari sini dapat diketahui bahwa hakikat lafal ‘am yaitu lafal yng terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian. [35]Misalnya firman Allah:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى اْلأَرْضِ جَمْيْعًا..
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29).

3)Al-Musytarak
Yaitu :
لَفْظٌ وُضِعَ لِمَعْنَيَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ بِأَضَاعٍ مُتَعَدَّدَةٍ
“Lafal yang bermakna ganda atau lebih”
Jika ada lafal musytarak antara makna lugawi dan makna istilah syara’, maka wajib mengamalkan makna syara’ dan jika musytarak itu terjadi pada makna yang sama-sama bersifat kebahasaan, maka wajib mengamalkan salah satu diantaranya dengan dalil yang menunjukkan pada kegunaannya.[36] Contohnya Lafal الطلاق secara bahasa berarti tali yang terputus. Sedangkan menurut pengertian syara’ berarti terputusnya tali ikatan suami istri. [37]

4.Segi bentuk untuk menyatakan taklif
Dalam hal ini pembatasan akan dibagi menjadi empat macam yaitu al- haqiqah, al-majasi, ash-sharih dan al-kinayah.

1)Al-haqiqah dan Al-majasi
Al-haqiqah adalah suatu kata yang digunakan menunjukkan kepada pengertian yang asli.[38] Senada dengan pengertian tersebut wahbah az-Zuhaili mendefiniskannya dengan tiap-tiap lafal yang dimaksudkan pada makna yang dibuat sejak awal untuk sesuatu yang telah diketahui. [39]
Sedangkan yang dimaksud dengan al-majazi adalah tiap-tiap lafal yang dimaksudkan pada sesuatu selain makna yang telah dibuat. Hal ini diarenakan adanya ketekaitan atau hubungan khusus antara keduanya. [40]
Dalam redaksi yang sedikit berbeda dapat pula didefiisikan sebagai lafal yang menunjukan pada arti yang dibuat (sejak awal) serta berhubungan dengan qarinah. Dengan dengan demikian, suatu lafal dapat diketahui maksud penggunaannya amat bergantung pada qarinah yang menyertainya. Misalnya ulama berbeda pendapat dalam memahami firman Allah :
وَإنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَر أَوْ جَاءَ أَحَدٌ منَ الْغَائط أَوْ لمَسْتُمُ النسَاءَ..
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan..”(Q.S. an-Nisa’: 6).

Lafal “la mastum” secara majazi adalah jimak (wat’u). di samping itu lafal tersebut berwazan mufa’ala (yang menunjukan perbuatan saling). Oleh karenanya, dalam ayat tersebut terdapat qarinah yang mendorong ulama untuk mengartikan secara majazi, yaitu jimak atau bersetubuh, sebab tidak mungkin yang dimaksud lafal “la masa” dalam ayat tersebut itu bermakna saling menyentuh. [41]

2)Ash-sharih dan al-kinayah
Menurut Abdul Karim Zaidan lafal sarih adalah lafal yang maksudnya jelas karena telah banyak dipergunakan, baik secara hakikat maupun secara majazi. Contohnya, “أنت طالق” kalimat ini adalah secara syar’i adalah jelas menunjukan pada hilangnya suatu pernikahan.
Sedangkan al-kinayah secara bahasa adalah mengatakan sesuatu akan tetapi berkehendak kepada yang lainnya. Sedangkan secara istilah adalah lafal yang sama maksudnya sehingga baru diketahui bila ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya.[42] Misalnya perkataan suami pada istrinya : “I’tadiy” (beriddahlah!) atau pulanglah ke rumah orang tuamu, yang dimaksudkan untuk talak.
Dari keempat pembagian tersebut, ada pula yang mengklasifikasikannya ke dalam bentuk-bentuk yang digunakan untuk menyatakan taklif yang dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu amar dan nahi. Amar diartikan sebagai tuntutan untuk berbuat dari yang lebih tinggi kepada yang rendah. Sedangkan nahi adalah kebalikan dari amar yaitu suatu bentuk larangan.
Selain membicarakan lafal yang berupa wacana kata ataupun kalimat. Para ulama usul fikih juga membicarakan huruful ma’aniy, yaitu kata penghubung yang mempunyai beragam makna. Huruf-huruf tersebut menjadi penting dalam hal istimbat hukum karena dapat memberikan berbagai pengertian terhadap makna nas [43]
Pendekatan secara bayani ini memang sangat penting, karena untuk meng-istinbat-kan suatu hukum dari sumbernya yang berbahasa arab tentu diperlukan kajian kebahasaan yang mendalam. Namun menurut al-Syatibi, yang lebih penting lagi adalah pendekatan melalui pemahaman tujuan dan makna yang menjadi sasaran syar’i dalam menurunkan syariat yang disebut maqasid asy-sya’iyah. [44]



___________________________________________

[1] Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta : UII Press, 2004), 72
[2] Madkur, Muhammad Salam, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo : Dar al-Nahd}ah al-Arabiyyah, 1984), 42
[3] Amir dan Yusdani, Ijtihad .., 73
[4] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2020), 66
[5] Kamali, M. Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 115
[6] Madkur, al-Ijtihad ., 43
[7] Ibid., 116
[8] Mubarok, Metodologi Ijtihad…, 66
[9] Ibid., 67
[10] Miftahul Arifin & Faishal Haq, Ushul Fiqh, Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), 194
[11] Wahbah az-Zuhayliy, Ushul al-Fiqh al Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 321
[12] Mubarok, Metodologi Ijtihad..., 71
[13] Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh..., 326
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah al-Islamiyah),169
[17] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 164
[18] Mubarok, Metodologi Ijtihad…, 64
[19] Effendi, Ushul...,227
[20] Syafi’i, Ilmu Ushul...,166
[21] Effendi, Ushul...228
[22] Wahbah az-Zuhaili, Us}ul al-Fiqh al Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 345
[23] Syafi’i, Ilmu Ushul…, 167
[24] Mubarok, Metodologi Ijtihad..., 76
[25] Ibid., 78
[26] Madkur, al-Ijtihad…,44
[27] Az-Zuhaili, Ushul.,355
[28] Ibid., 356
[29] Madkur : al-Ijtihad…,45
[30] Mubarok, Metodologi Ijtihad,…83
[31] Az-Zuhaili, Us}ul al-Fiqh., 362
[32] Ibid.
[33] Ibid. Lihat pula Mubarok, Metodologi Ijtihad., 87
[34] Zaidan, al-Wajis., 279
[35] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, cet. I, 2004), 130
[36] Zaidan, al-Wajis fi Ushul.,327
[37] Ibid., 328
[38] Rusli, Konsep Ijtihad…, 39
[39] Az-Zuhaili, ushul al-Fiqh., 292
[40] Ibid., 296
[41] Mubarok, Metodologi Ijtihad., 53
[42] Ibid.
[43] Untuk lebih jauh lihat az-Zuhaili, Usul al-Fiqh…, 375
[44] Rusli, Konsep Ijtihad…, 40
ruqi86.blogger.com 19:11





http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/07/m8daxd-inilah-5-keutamaan-sedekah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail

Sedekah memiliki sejumlah keutamaan dan keistimewaan. Dalam surah at-Taubah ([9]: 103), sedekah bertujuan untuk menyucikan harta dan diri muzaki agar menjadi penenteram batin mereka. Dalam sejumlah hadis, Rasulullah SAW menyatakan, sedekah itu merupakan bukti keimanan seseorang dan mereka yang bersedekah akan memperoleh pahala yang besar di sisi Allah SWT (HR al-Baihaqi).

Di antara keutamaan sedekah, antara lain, pertama, orang bersedekah berhak mendapat rahmat Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Sedekah akan menjadi naungan di akhirat saat tidak ada naungan, kecuali naungan Allah. “Sesungguhnya, sedekah itu memadamkan panasnya kubur dan hanyalah seorang Mukmin yang mendapatkan naungan pada hari kiamat nanti dengan sedekahnya.” (HR Thabrani dan Baihaqi).

Kedua, sedekah memadamkan murka Ilahi. “Sedekah rahasia (tersembunyi) itu memadamkan amarah Ilahi.” (HR Thabrani dan Ibnu Asakir). Ketiga, sedekah menolak mati dalam keadaan suul khatimah (akhir yang buruk). “Akhlak buruk adalah kejelekan, kuat ingatan adalah mengembangkan, dan sedekah menolak mati suul khatimah.” (HR al- Baihaqi).

Keempat, sedekah menjadi sebab disembuhkannya penyakit. “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, bentengilah hartamu dengan zakat, dan sesungguhnya zakat itu menolak peristiwa mengerikan dan penyakit.” (HR Ad-Dailami dari Ibnu Umar).

Kelima, sedekah itu akan mendapatkan keberkahan dalam hidup dan tambahan rezeki, “Barang siapa menafkahkan hartanya maka akan diberi keberkahan darinya.” Dalam hadis lain disebutkan, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan tidaklah pemberian maaf itu kecuali ditambah kemuliaan oleh Allah dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah, kecuali Dia akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).

Ramadhan adalah bulan termulia dan utama. Karena itu, bersedekah di bulan ini akan makin berlipat pahala dan keutamaannya. “Sedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR At-Turmudzi dari Anas).

Di antara keutamaan sedekah pada Ramadhan, antara lain, pertama, Allah SWT menebar rahmat dan ampunan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang dermawan pada fakir miskin maka Allah akan membalasnya dengan kedermawanan-Nya.

Kedua, berkumpulnya puasa dan sedekah akan memperoleh balasan surga. “Sesungguhnya, di surga terdapat ruangan-ruangan yang di dalamnya bisa dilihat dari luar dan luarnya bisa dilihat dari dalam. Ditanyakan kepada beliau, untuk siapakah ruangan-ruangan itu? Rasulullah menjawab, ‘Ruangan itu diperuntukkan bagi orang yang bicaranya baik, memberi makanan, selalu berpuasa, dan shalat malam saat orang-orang tertidur.’” (HR Ibnu Khuzaimah).

Ketiga, puasa dan sedekah adalah ibadah yang paling hebat dalam menghapuskan dosa dan menjauhkan kita dari neraka. “Sedekah itu menghapuskan dosa seperti air memadamkan api.” (HR At-Tirmidzi). Sedangkan, puasa membersihkan dosa dan membakarnya. Keempat, sedekah menambah solidaritas sosial antara anggota masyarakat.

Demikian hebatnya keutamaan Ramadhan. Sudah seharusnya kita mempergunakan momentum mulia ini untuk meningkatkan kepedulian kita kepada fakir miskin dan orang-orang tertindas.

Redaktur: Heri Ruslan
13.916 reads






http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=570:konsep-makna-menurut-ulama-ushul-&catid=1:fikih-dan-syariah&Itemid=101
Konsep Makna Menurut Ulama Ushul
Monday, 08 November 2010 01:54 Artikel
Oleh : Abdul Mujib Johar

A.    Pendahuluan
Setiap individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasululloh SAW tidak mudah memahami hukum-hukum dalam Al-Quran. Oleh karena itu diperlukan suatu kaidah metode penyimpulan hukum. Di antaranya adalah kaidah bahasa[1]. Kaidah bahasa yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah.[2] Kaidah bahasa dimaksudkan untuk mengetahui makna[3] teks guna meraih maksud teks tersebut. Yang dimaksud teks disini adalah Al Quran dan Hadits. Berdasarkan tingkat validitas dan sifat mengikatnya sumber makna dibagi menjadi tiga, pertama, yang sudah jelas otentisitasnya tak diragukan lagi kebenaran sumbernya maupun makna dan maksudnya قطعي الثبوت قطعي الدلالة yaitu Al Quran kalamullah, kedua, kahbar yang sudah dipastikan kebenaran sumbernya namun belum bisa dipastikan makna dan maksud yang dikandungnyaقطعية الثبوت ظنية الدلالة  contohnya adalah ayat-ayat Al Quran yang mutasyabihaat dan khabar mutawatir yang bermakna ganda, dan ketiga adalah khabar yang bukan hanya sumbernya masih dipersoalkan tapi maksudnya juga masih diperdebatkan ظنية الثبوت ظنية الدلالة. Secara epistemologis makna yang sudah jelas otentisitas dan signifikansi lafadnya bersifat sah  mengikat dan tsabit. [4]Adapun selain dari yang pertama terbuka pintu ijtihad untuk menafsirkannya.
Pokok bahasan kaedah bahasa adalah lafadz untuk menderivasi makna. Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al Syatibi (w.790) menegaskan bahwa layak tidaknya suatu lafadz disebut qoti’ dalalah (قطعية الدلالة)bergantung kepada keadaan berikut: (1) periwayatan mengenai aspek kebahasaannya (نقل اللغة ) (2) tinjauan aspek tata bahasanya(أراء النحو) (3) bukan kata berimbal(عدم الإشتراك) (4) bukan figuratife atau metaforis (عدم المجاز) (5) apakah periwayatannya berkaitan dengan syara’ atau adat (النقل الشرعي أو العادي) (6)  sisipan (إضمار)  (7) pengkhususan yang umum (التخصيص للعموم) (8) Pengikatan yang mutlak (التقييد للمطلق)(9) tidak ada pembatalnya ( عدم الناسخ) (10) pendahuluan dan pengakhiran  ( التقديم والتأخير)(11) tidak ada kontradiksi logis (عدم المعارض العقل).[5]
Aplikasi kaidah bahasa untuk menderivasi makna dengan muatan epistemology qoti’ dan dzanni telah membentengi nash-nash dari permainan orang-orang yang jahil untuk mementahkan syariah, membantah syubhat-syubhat yang senantiasa berusaha untuk mencairkan nash-nash agama, berusaha melepaskan diri dari ikatan syariah dengan tuduhan bahwasannya makna dalam ayat-ayat Al Quran mengalami perubahan sesuai kondisi dan realitas, dan bahwasannya ayat-ayat itu tidak menunjukkan suatu perintah ataupun larangan. Dalam makalah ini penulis bermaksud memaparkan qoidah-qoidah ushul lughowi yang dirumuskan oleh para ulama ushul sebagai kerangka teoritis dan methodologis guna memahami karakteristik kata dan maknanya. Tetapi sebelumnya penulis akan memaparkan dulu secara singkat problem makna dalam hermeneutik sebagai perbandingan dan untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi jika konsep ini diterapkan dalam al Quran.

B.    PROBLEM MAKNA DALAM HERMENEUTIK
Sebagaimana yang sudah disampaikan pada pendahuluan bahwa makna dalam Islam bersifat mengikat. Oleh karena itu sumber makna harus qoti’ tsubut dan signifikansi maknanya pun harus qoti’ dalalah. Prinsip epistemologi ini tidak didapatkan dalam hermeneutik. Ada lingkaran hermeneutic dimana makna senantiasa berubah. Para hermeneot dituntut bersikap skeptive. Senantiasa meragukan kebenaran darimanapun datangnya, sebagai implikasi dari paham relativisme. Tidak ada tafsir yang mutlak benar. Semuanya relative. Pemikiran hermeneutic ini lahir akibat problem otentisitas yang dialami Bibel. bibel yang dianggap kalam Tuhan (God’s word) ternyata mayoritas adalah campur tangan manusia belaka. [6] Berikut dipaparkan beberapa pemikiran tokoh hermeneutik.
Gadamer merumuskan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal jawab di mana pandangan keduabelah pihak melebur menjadi satu hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Setiap jawaban adalah relative dan tentative kebenarannya,senantiasa boleh dikritik dan ditolak.[7] Pemahaman berkaitan erat dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Inilah yang dimaksud dengan dinamika perpaduan berbagai macam faktor dalam sebuah bahasa. Pemahaman senantiasa dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa masa lampau  (sejarah), dialektika dan bahasa. Pemahaman tidak pernah bersifat objective dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah memahami secara statis dan diluar kerangka ruang dan waktu tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktu, misalnya dalam sejarah. Semua pengalaman yang hidup itu menyejarah. Akan tetapi menurut Gadamer, arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau (waktu teks itu ditulis), tetapi juga mempunyai keterbukaan terhadap masa depan. Karenanya menafsirkan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai sesuai dengan sifat dari teks itu sendiri.[8]
Menurut Ricour otonomi teks ada tiga macam : intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Makna dalam tiga hermenetik circle itu mengalami reduksi. Materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya inilah yang dimaksud dengan dekontekstualisasi. Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara meluas dimana pembacaannya selalu berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi. Hubungan dengan dunia teks terletak dalam hubungan dengan subjektivitas pengarangnya dan pada saat yang sama persoalan subjektivitas pembaca ditinggalkan. Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri kedalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya.[9]
Bagi Emillo Betty, makna itu sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang dan agen-agen historis. Makna dirujuk kepada bentuk-bentuk bermakna yang merupakan objektivasi pemikiran manusia. objektivikasi yang sempurna bagi Emillo tidak akan pernah diraih, Emillo Betty menegaskan yang ada hanya objektivikasi yang relative. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang dialektis antara aktualitas pemahaman dan objektivikasi-objektivikasi akal. Sekalipun penafsiran objektiv dapat diraih namun Betty menyatakan penafsiran tidak akan bisa sempurna dan final. Penafsiran objective tidak akan pernah bisa menjadi absolute karena wujudnya jarak antara diskursus atau pembicaraan dengan audiensnya. Bagi Betty makna seharusnya diderivasi dari texs dan bukan dimasukkan kedalam teks. Meaning has to be derived from the text and not imputed to it.[10]

C.    KAIDAH USHUL BAHASA DALAM MENETAPKAN MAKNA
Manhaj Al Quran di dalam menerangkan makna-makna petunjuk adalah manhajnya umat yang kepada mereka wahyu diturunkan. Al quran tidak memakai mufradat, srtuktur, dan ilustrasi yang tidak diketahui oleh masyrakat Arab. Tidak didapatkan dalam Al Quran kalimat yang tidak dipakai oleh masyrakat Arab. Ataupun struktur kalimat yang sulit dipahami oleh masyrakat Arab secara keseluruhan.  Karena itu seorang yang hendak memahami nash dan menggali hukum yang terkandung didalamnya harus menguasai bahasa Arab. Lebih jauh lagi ia harus memahami detil-detil idiom (ibarah) dalam bahasa Arab beserta pengertiannya. Sehingga memungkinkannya memahami nash dan mencari kejelasan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Para ulama ushul telah melakukan pembagian lafadz berdasarkan klasifikasi maknanya kepada beberapa pembagian untuk memudahkan pengkajian dan penulisan pada satu sisi dan takhrij serta tarjih pada sisi lain. Pembagian tersebut merupakan kaidah-kaedah yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali hukum-hukum taklify dari nash-nash tersebut. Apabila kaidah tersebut diikuti oleh seorang ahli fiqh maka ia akan terhindar dari kesalahan dalam istinbat hukum. Dalam membuat kaedah mereka berpedoman kepada dua hal sebagai berikut : Pertama, المدلولات اللغوية (pengertian konotasi kebahasaan), dan الفهم العربي (pemahaman yang didasarkan pada citra rasa arab) terhadap nash-nash hukum al Quran dan as Sunnah. Kedua, Penjelasan Nabi SAW  terhadap hukum-hukum Al Quran. Dengan adanya tambahan keterangan dari as Sunnah lafadz menjadi lebih jelas dan mempunyai kepastian hukum.[11]
Pembagian lafadz berdasarkan pada klasifikasi maknanya sebagai berikut: Pertama,dari segi kandungan pengertiannya, kedua,lafadz dari segi penggunaannya, ketiga,lafadz dari segi kejelasan artinya,dan keempat lafadz dari segi dilalahnya atas hukum. Penulis akan memfokuskan kajian pada dua pembagian yaitu lafadz dari segi kejelasan artinya dan segi dilalahnya atas hukum.

D.    LAFADZ DARI SEGI KEJELASAN ARTINYA
Lafadz yang terang artinya terbagi kepada empat tingkat yang kekuatan dari segi kejelasan artinya berbeda. Dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Dzahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
 DZAHIR
Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafadnya.[12]  Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar, akan tetapi makna itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks kalimat dan mengandung kemungkinan adanya takwil.[13] Al Amidy memberikan definisi: Lafadz Zahir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang dimaksud berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafadz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah.[14]  Qodhi Abi Ya’la merumuskan definisi : Lafadz yang mengandung kemungkinan dua makna , namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.[15] Definisi yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf : lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan.[16]
Contoh dzahir adalah firman Allah SWT ,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾[17]
275.), padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini secara dzahir menunjukkan pembolehan jual beli dan pengharaman riba, karena bisa dipahami tanpa perlu qorinah akan tetapi konteks ayat menunjukkan perbedaan antara jual beli dan riba sebagai bantahan atas anggapan orang-orang munafik yang menyamakan antara jual beli dan riba. Maksud dari ayat ini bisa dipahami pada latar belakang diturunkannya ( asbabun nuzul). Kehalalan jual beli dan keharaman riba sudah diketahui sebelum diturunkannya ayat, kehalalan jual beli adalah makna yang pokok adapun keharaman riba dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Barr tentang ayat ini,” adapun ayat pengharaman riba telah diturunkan jauh mendahului sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT dalam QS Ali Imron[18],

  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٣٠﴾[19]

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
 Demikian juga diriwayatkan oleh Assuyuti dalam asbabunnuzulnya tentang ayat ini: Al Farabi telah mengeluarkan dari Mujahid beliau mengatakan,” mereka melakukan jual beli dengan tempo apabila temponya tiba mereka menambahkan harganya dan memperpanjang temponya maka turunlah ayat ini. Juga dikeluarkan dari  Ato beliau mengatakan,” adalah bani Tsaqif berhutang pada Bani Nadir pada masa jahiliyah, apabila jatuh tempo mereka mengatakan,” kami akan memberi tambahan pada piutang kalian dan kalian menangguhkan tempo.” Maka turunlah ayat ini (QS Ali Imron 130).”[20]  Oleh karena itu menjadi jelaslah bahwa pengharaman riba  telah ada jauh sebelum ayat surah Al baqoroh ayat 275. Kesimpulannya QS Al Baqoroh ayat 275 ini bukanlah mempunyai konteks makna penghalalan jual beli dan pengharaman riba. Akan tetapi konteks ayat ini adalah untuk membantah anggapan orang-orang kafir yang menyamakan hukum jual beli dan riba. Jadi nash ayat ini untuk menegaskan perbedaan kedua transaksi tersebut. [21]
Meskipun dzahir bisa dipahami tanpa qorinah namun tidak ada keterangan di dalam Al Quran yang tidak dilindungi dengan qorinah hingga bisa disalah pahami. Contoh adalah firman Allah SWT,
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ ﴿٧﴾
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
 Dari ayat di atas dipahami bahwasannya Allah itu esa dan tidak ada sekutu bagiNya. Dengan cara menta’rifkan lafadz dua ujung pertamaهوالذي  Allah mengkhususkan penurunan Al Quran kepada Nabi Muhammad. Kalau ada Tuhan selain Allah niscaya akan menurunkan Kitab seperti Al Quran kepada selain Nabi Muhammad.
Makna ini bukanlah yang dikehendaki secara asli, akan tetapi bisa dipahami dari nazm dengan berlandaskan kaidah-kaidah pemahaman yang sahih. Dengan demikian makna ini bersifat dzahir . dzahir disini bukan berarti mudah dipahami oleh orang awam akan tetapi mempunyai makna sekunder. [22]
Tentang status hukum lafadz dzahir ini meski ada perselisihan apakah lafadz dzahir memberi makna yakin dan qoti’, tapi para fuqoha dan ulama ushul sepakat akan kewajiban melaksanakannya menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafadz itu. Penetapan hudud ‘uqubat syarie’ dan kifarat sah dilakukan dengan lafadz dzahir. [23]
Apabila hermeneutika diaplikasikan dalam lafadz dzahir maka akan banyak ajaran-ajaran pokok Al Quran yang dimentahkan. Makna tauhid dipaparkan lebih banyak dalam lafadz dzahir daripada nash. Hampir tidak ada ayat dalam Al Quran yang tidak menyinggung tauhid. Demikian juga petunjuk-petunjuk Al Quran sangat banyak disebutkan dalam lafadz dzahir. [24]  Akan terjadi pengkaburan makna tauhid pendangkalan akidah, dan dekonstruksi syariat islam. Makna-makna yang qoti’ akan diragukan, hukum-hukum yang wajib diamalkan, halal dan haram akan ditolak. Contoh firman Allah dalam Qs. al baqoroh 275,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.  (Qs. al Baqoroh 275).

Dzahir ayat di atas adalah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hukum ini jelas dan qoti’. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada dzahir ayat ini maka riba bisa menjadi halal dan jual beli menjadi haram. Contoh lain adalah firman Allah Qs.Al Hasyr,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ﴿٧﴾
007. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah Qs. Al Hasyr ayat 7
Dzahir ayat diatas adalah memerintahkan untuk taat kepada Rasul SAW. Makna ayat ini jelas dan qoti’. Menjalankan hukumnya adalah wajib. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada ayat ini maka makna dzahir yang qoti’ menjadi relative dan terbuka kemungkinan berubah. taat kepada Rasul menjadi tidak wajib. 
 NASH
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah :  lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.[25]
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,
 ذَلِك بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
. sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,

Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayatواحل الله البيع وحرم الربا  adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut. Ayat ini yaitu  واحل الله البيع وحرم الربا secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran,

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ﴿٣﴾[26]
Qorinah وثلاث ورباع datang setelah perintah menikah untuk menunjukkan bahwa maksud konteks kalam adalah keterangan jumlah yang diizinkan bagi seorang muslim. Maka ayat ini secara dzahir adalah penghalalan pernikahan dan nash jumlah yang dibolehkan. Demikianlah qorinah sebagai pembeda antara dzahir dan nash dan sebagai petunjuk bahwasannya nash itulah yang dimaksud oleh kalam.[27]
Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil  takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qot’i atau yakin.[28]
Meskipun berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban mengamalkannya berdasarkan pemahaman makna secara langsung akan tetapi nash lebih terang maknanya daripada dzahir. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami daripada makna yang lainnya yang tidak langsung.[29] Juga kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis dan naskh itu lebih kecil daripada dzahir. Atas dasar itu apabila terdapat pertentangan makna antara nash dan dzahir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.[30]
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash al Quran maka makna nash yang sudah jelas dan qoti’ akan akan kabur dan tidak pasti. Hukum-hukum dalam nash al Quran yang wajib diamalkan akan ditolak. Perkara-perkara metaphisik yang dijelaskan dalam nash akan diragukan. Contoh firman Allah dalam Qs. al Baqoroh ayat 275,                               
 وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَاَ ﴿٢٧٥﴾[31]
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Qs. al Baqoroh ayat 275.
Ayat di atas adalah nash tentang perbedaan hukum jual beli dan riba. Jual beli hukumnya halal sedangkan riba haram. Makna ini jelas dan qoti’. Hukumnya juga wajib dilaksanakan.
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash tersebut. maknanya menjadi kabur dan hukumnya ditolak. Sehingga akan mengantarkan kepada kesimpulan tidak ada perbedaan antara jual beli dan riba.
 MUFASSAR ((المفسر
Dengan ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
 Al Sarkhisi memberi definisi :  Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain. Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.[32] Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkannya.[33]  Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu: a.Penunjukannya terhadap makna jelas sekali. c. Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar. d. Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.[34]
Contohnya firman Allah tentang had zina
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ[35]
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. Annur 2) , dan tentang had qodzaf

 وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ﴿٤﴾

004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

Masing-masing lafadz yaitu : ((مئة dan ثمانين)) mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan. Dan firman Allah SWT,
  وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ﴿٣٦﴾

dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Kalimat  كافة menafikan kemungkinan adanya takhsis.
Dengan demikian mufassar adalah lafadz atau kalam yang disertai dengan bayan taqriri atau bayan tafsiri sehingga menjadi lebih jelas daripada nash dan maksudnya bisa dipahami dengan sighot bukan dengan makna dari mutakallim. Bayan Taqriri adalah keterangan yang memutus kemungkinan adanya takhsis apabila lafadznya ‘aam dan kemungkinan adanya makna metaphor dan takwil apabila lafadznya khos, sehingga lafadz menjadi kuat, pasti dan tegas seperti ayat, وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً.
Bayan Tafsiri adalah keterangan yang menghapus adanya kesamaran yang menyelimuti kalam sehingga menjadikannya jelas, seperti firman Allahفسجد الملائكة كلهم اجمعين  nama malaikat bersifat umum yang memungkinkan adanya takhsis karena ia adalah lafadz jama muarraf dengan huruf laam hingga mengindikasikan ‘aam akan tetapi mengandung kemungkinan takhsis adanya sebagian malaikat yang tidak bersujud, tetapi dengan adanya lafadz  كلهم hilanglah kemungkinan itu. Ini bayan taqriri. Ketika ada tambahan   أجمعون hilanglah kemungkinan para malaikat bersujud sendiri-sendiri. Inilah bayan tafsiri yang menafsirkan cara bersujudnya para malaikat dan memutus kemungkinan takwil.[36]
Hukum mufassar adalah wajib mengamalkannya. Berdasarkan keterangannya yang terperinci dan dalalahnya yang qoti’. Pada periode Rasululloh SAW mufassar mengandung kemungkinan dinaskh apabila termasuk hukum yang boleh dinaskh. Adapun sesudah meninggalnya beliau seluruh hukum di dalam Al Quran menjadi muhkam dengan terputusnya wahyu.[37]
Apabila metode hermeneutik diaplikasikan pada ayat mufassar, maka ayat-ayat mujmal tetap dalam keadaan mujmalnya. Tidak ada makna pasti yang memerinci ayat-ayat mujmal agar bisa diaplikasikan ke dalam taklif syarie. Bagaiman pengertian sholat secara terminology syariah, pelaksanaan zakat dan haji. Masing-masing orang akan melaksanakan praktek ibadah atas dasar pemahamannya. Contoh mufassar adalah firman Allah,
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ﴿١١٠﴾[38]
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Qs. al Baqoroh 110
Ayat di atas adalah perintah untuk menegakkan sholat dan menuanaikan zakat secara mujmal. Kemudian Rasululloh SAW menjelaskan makna dan pelaksanaan sholat dan zakat baik secara lisan maupun praktek. Maka lafadz ayat yang mujmal naik menjadi mufassar sehingga tidak menerima takwil. Apabila metode hermeneutic diterapkan, maka lafadz mujmal akan tetap samar. keterangan yang memufassarkannya akan diragukan dan direlatifkan. Tidak ada pedoman yang disepakati dan jelas dalam melaksanakan taklif syari’. Masing-masing orang akan menafsirkan sendiri keterangan-keterangan yang mujmal. 

AL MUHKAM  (المحكم)
Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh.[39] Seperti sabda Nabi SAW,” Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Dan seperti firman Allah, “ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya. QS. a-Nnur :4
Al Muhkam lebih kuat dari pada Al Mufassar tapi tidak lebih terang. Dikatakan demikian karena Al Muhkam tidak menerima nasakh sementara Al mufassar menerima. Ketidak menerimaan Al Muhkam terhadap naskh tidak mempengaruhi kejelasan lafadznya. Sebab ketidak menerimaan naskh bukan bersumber dari zat nash akan tetapi dari sebab yang lain. Oleh karena itu Almuhkam lebih kuat dari lafadz-lafadz yang lain.
Ada dua perkara yang menjadi sebab Al Muhkam tidak menerima naskh baik pada periode Rasululloh SAW maupun sesudah beliau wafat, yaitu :
1.     Nash  muhkam yang mempunyai makna yang tidak mungkin berubah. Seperti hukum-hukum pokok dalam agama antara lain iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,rasul-RasulNya dan iman kepada hari akhir, iman kepada sifat-sifat Allah SWT.[40] Nash-nash tentang pokok-pokok akhlak yang utama yang diakui oleh akal yang sehat seperti kejujuran, menepati janji, amanah, bakti pada orang tua, sillaturrahmi dan nash-nash yang bermakna berlawanan dari itu. Seperti dusta, khianat,zalim, durhaka pada orang tua dan memutuskan sillaturrahim. Demikian juga apabila di dalam nash terdapat lafadz yang menunjukkan atas keabadian makna.[41] seperti ayat

وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَداً إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيماً ﴿٥٣﴾

Kalimat أَبَدا menunjukkan secara jelas bahwasannya hukumini berlaku selamanya. Ayat-ayat yang yang mempunyai makna demikian seluruhnya beersifat muhkam lia’inihi atau lidzatihi karena maknanya tidak mungkin berubah.
2.     Nash yang mengandung kemungkinan naskh baik pada lafadz maupun pada maknanya.Akan tetapi kemungkinan tersebut sirna karena meninggalnya Rasululloh SAW sebelum ada keterangan tentang naskhnya. Nash yang demikian masuk pada muhkam lighoirihi. Jadi seluruh bagian dari wadih dalalah yaitu dzahir,nash dan mufassar menjadi muhkam setelah meninggalnya Rasululloh SAW . Muhkam dalam arti bebas dari naskh bukan dari takhsis ataupun takwil.[42]
Para ulama ushul sepakat bahwa al muhkam menduduki posisi tertinggi dalam kejelasan di antara derajat-derajat kejelasan lafadz. al muhkam menunjukkan makna yang jelas dan tidak ada kemungkinan takwil, takhsis dan naskh. Baik pada peride Rasululloh maupun sesudah beliau wafat. Wajib mengamalkan hukum lafadz muhkam secara pasti (qoti’) tanpa mengandung kemungkinan-kemungkinan alternatif  lain dan tidak mungkin dinaskh oleh lafadz lain. keterangan-keterangan tentang hal-hal yang metaphisis juga harus diyakini.
Apabila metode hermeneutik diterapkan dalam lafadz muhkam ini. Maka perkara-perkara yang tetap dalam agama akan berubah. Baik itu tetap karena muhkam lidzatihi maupun karena muhkam lighoirihi. Contohnya adalah firman Allah SWT dalam  
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴿١٩﴾[43]
 Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾[44]
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ ﴿٣١﴾[45]
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?"
Ayat-ayat ini adalah semuanya muhkam lidzatihi. Dalalahnya jelas maknanya tidak mungkin berubah. baik karena takwil, takhsis maupun naskh. Karena ia adalah perkara pokok agama. Apabila hermeneutik diaplikasikan dalam lafadz ini maka perkara yang tetap akan berubah. Pokok-pokok yang harus diyakini akan didangkalkan dengan teori relativisme penafsiran.
Kesimpulannya adalah tidak ada makna yang jelas, tetap dan qoti’ dalam hermeneutik. Baik dzahir, nash, mufassar maupun  muhkam belum final dan masih terbuka kemungkinan berubah sesuai dengan realitas dan rasionalitas. Asumsi ini didasari oleh relativitas penafsiran. Semua penafsiran adalah produk akal manusia sedangkan kebenaran akal manusia bersifat relative. Yang mutlak adalah wahyu dan agama.
Penafsiran yang didasari oleh ketundukan terhadap realitas nampak pada teori double movement Fazlurrahman[46]. Dari situasi sekarang ke masa al-Quran diturunkan dan kembali ke masa kini. Fazlur Rahman menerangkan ide double movement sebagai berikut :
“Gerakan pertama menempuh dua langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al Quran tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyrakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah. Dengan tidak mengkesampingkan peperangan-peperangan Persia-Bizantium akan harus dilakukan. Jadi langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna al Quran sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batasan-batasan ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua adalah menggenaralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan rationes legis yang sering dinyatakan. Benar, langkah yang pertama memahami makna dari ayat spesifik itu sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran al Quran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al quran sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan suatu sikap yang pasti terhadap hidup dan memiliki dan memiliki suatu pandangan hidup yang konkret; ia juga mendakwakan bahwa ajarannya “ tidak mengandung kontradiksi dalam, tetapi koheren secara keseluruhan”[47]
Fazlur Rahman menerangkan metode gerakan ganda tersebut sebagai berikut : “sementara gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al Quran ke penggalian dan sistemasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua  harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis yang konkret di masa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sejarah sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al Quran secara baru pula. Sejauh linkup kita mampu mencapai kedua momen dari gerakan ganda ini dengan berhasil, perintah-perintah al quran akan menjadi hidup dan efektif kembali.” [48]
Dengan ide double movementnya ini Fazlurrahman telah menjadikan hukum-hukum Al Quran tunduk dibawah situasi-situasi kondisional yang terus menerus berubah. Al quran tidak dijadikan imam yang ditaati. Namun ajaran-ajarannya dikompromikan agar sesuai dengan selera hawa nafsu. hukum-hukum syari’ yang qoti’ dalam makna dzahir, nash, mufassar bahkan muhkam dinegasikan. Fazlurrahman telah menolak keharaman riba, pembolehan poligami, hudud dan hukum-hukum Islam lainnya.  Menurut Rahman, Al Quran ketika diturunkan dipengaruhi oleh situasi historis saat itu. Sehingga ia merasa perlu mengklasifikasikan idea moral dan legal spesifik. Karena kondisi sekarang berbeda ia mengatakan yang berlaku adalah idea moral dan bukan legal spesifik. Dalam menolak poligami ia beralasan kondisi Arab ketika Al Quran diturunkan tidak membatasi jumlah wanita untuk dinikahi. Maka Al Quran meresponnya dengan membatasi empat istri. Inilah legal formal sedangkan idea moralnya adalah pembatasan satu istri. Ketika Al Quran diaplikasikan saat ini maka yang berlaku adalah idea moralnya yaitu satu istri.[49]

E.    LAFADZ DITINJAU DARI TUJUAN PEMBICARA
Ditinjau dari aspek tujuan pembicara atau metode signifikansi lafadz atas makna, lafadz dibagi menjadi empat, yaitu : (1) ‘Ibarah nash(عبارة النص) (2) Isyarah nash (اشارة النص) (3)Dilalah nash(دلالة النص) dan (4) Iqtidha nash(اقتضاء النص).

‘IBARAH NASH (عبارة النص)
Menurut Abu Zahroh ‘ibaroh nash adalah: makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash maupun zahir.[50] Maksudnya adalah signifikansi lafadz atas makna yang dapat dipahami secara langsung apakah menurut penggunaan asalnya (nash) ataupun bukan menurut asalnya (dzahir). Perbedaan nash dan ibarah nash adalah bahwa ibarah nash mencakup makna yang dimaksud dalam kalam dan makna yang sekunder sedangkan nash hanya mencakup makna yang dimaksud oleh kalam.
Contohnya firman Allah SWT,

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْْ ﴿النساء٣﴾[51]

maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Qs an Nisa; 3
Ayat ini menunjukkan kepada tiga hukum : Pertama, kebolehan menikah. Kedua, kebolehan menikah lebih dari satu wanita sampai empat. Ketiga, wajib membatasi hanya satu apabila khawatir tidak dapat berlaku adil.
Dua poin yang terakhir adalah yang dimaksud secara asli dari konteks ayat. Adapun yang pertama adalah makna sekunder. Ibarah nash mencakup dua makna ini adapun nash hanya menunjukkan dua poin yang terakhir. Karena nash secara istilah adalah makna yang dimaksud secara asli adapun poin yang pertama bukan makna yang dimaksud. 

ISYARAH NASH (إشارة النص)
Menurut Abu Zahrah isyarah nash adalah : Apa yang ditunjuk oleh lafadz tidak melalui ‘ibarahnya.[52] Al Sarkhisi dari ulama Hanafiyah memberi definisi : Apa yang terungkap memang bukan ditunjukan untuk itu, namun dari perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafadz itu, tidak lebih dan tidak kurang.[53] Jadi isyrah nash adalah suatu makna hukum yang tidak dipahami oleh mukhotob tanpa perenungan, makna hukum tersebut bukanlah maksud pembicaraan bukan pula konteks makna yang ditujukan oleh kalam.
Contohnya firman Allah SWT,
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿البقرة٢٣٣﴾[54]
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Qs. Al-Baqoroh 233

Ayat ini adalah contoh bagi ‘ibarah nash dan isyarah nash. Ayat di atas mengandung ‘ibarah nash karena mempunyai maksud dan konteks makna kalam menerangkan kewajiban nafakah bagi ibu yang menyusui. Inilah yang dipahami secara langsung dan dzahir. Demikian juga ayat ini mempunyai implikasi isyarah nash karena secara mudah bisa dipahami bahwa nasab anak kepada bapaknya. Karena anak dalam ayat tersebut diidofahkan kepada الوالد dengan huruf “lam” yang menunjukkan kekhususan, kekhususan disini adalah kekhususan nasab bukan kepemilikan. Makna isyarah ini adalah mafhum dari ayat dengan bantuan pengamatan. Karena ia tidak sedzahir ‘ibarah dan bukan makna yang dimaksud dalam konteks, namun kalam mengisyaratkan makna demikian.[55]
Hukum beramal dengan dua lafadz diatas adalah wajib, namun perlu diperhatikan pada isyarah nash karena makna pada lafadz ini kadang-kadang samar pada sebagian orang kecuali pada para fuqoha yang dalam ilmunya. Apalagi kemampuan akal berbeda-beda dalam memahami, yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menangkap makna yang terkandung dalam isyrah nash.  Pada ‘ibaroh nash makna mudah dipahami karena dilalah cukup jelas meski bagi orang yang bukan faqih.[56]

DILALAH NASH (دلالة النص)
Menurut Abu Zahrah dilalah nash adalah : Pengertian secara implisit tentang suatu hukum lain  yang dipahami dari pengertian nash secara eksplisit (‘ibaroh nash) karena adanya faktor penyebab yang sama.[57] Al Sarkhasi memberikan definisi : apa yang ditetapkan dengan makna menurut aturan bahasa dan bukan melalui cara istinbat dengan menggunakan daya nalar.[58] Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa madlul (makna) dalalah nash bukanlah suatu bentuk hukum akan tetapi suatu ‘illah hukum yang disebutkan dalam nash hanya saja ‘illah tersebut tidak diketahui lewat ijtihad dan mengetahuinyapun tidak dimonopoli oleh ahli ijtihad, akan tetapi juga dipahami oleh ahli bahasa dengan analisa kebahasaan.
Ada sisi persamaan antara dilalah nash dengan qiyas yaitu dua-duanya sama-sama bertolak dari ‘illah yang disebutkan dalam nash. Perbedaannya adalah bahwa dalalah nash sandarannya adalah bahasa dan kaidahnya sedangkan qiyas dibangun dengan ijtihad dan istinbat. Oleh karena itu dilalah nash bisa dipahami oleh setiap ahli bahasa sedangkan qiyas tidak boleh kecuali oleh orang yang mumpuni ilmunya dan pandangan yang tajam dalam aspek-aspek syariat. Kalau yang pertama diterima oleh jumhur ulama sedangkan yang kedua diperselisihkan.  
Keumuman hukum sesuai dengan keumuman ‘illah. Maksudnya hukum menjadi umum dan sama apabila terdapat illah yang diketahui berdasarkan dilalah nash.[59]

IQTIDLO NASH (إقتضاء النص)
Menurut Abu Zahrah iqtidlo nash adalah :  signifikansi (dilalah) lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.[60] Iqtidlo (tuntutan) bukanlah signifikansi atas makna lafadz baik dari ‘ibaroh maupun mantuqnya, akan tetapi ia adalah dilalah yang mesti ada dan dipandang dari makna diluar mantuq kalam. Agar kalam menjadi sah baik secara syara’ maupun nalar sehingga sisi kebenarannya bisa diketahui. [61]
Keharusan mempertimbangkan makna dari luar sesuai dengan tuntutan kebenaran kalam. tidak boleh lebih dari makna yang dianggap benar baik oleh syari’ maupun logika. Contohnya firman Allah SWT,
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
﴿ البقرة ١٧٨﴾[62]
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa jika keluarga orang yang dibunuh telah memaafkan, maaf hendaklah diikuti dengan sikap yang baik kepada orang yang telah diberi maaf. Yakni sebagai konsuekuensi logis dari sikap memaafkan tersebut ialah adanya imbalan harta benda yang diharapkan oleh orang yang memaafkan. Oleh karena itu adanya perintah untuk mengikuti dengan sikap yang baik dimaksudkan agar supaya orang yang memberi maaf diberi uang imbalan yang nilainya sama dengan diyat atau kurang. Karena sikap yang baik dari orang yang memberi maaf tersebut tak akan terjadi kecuali bila ia diberi uang imbalan.[63]  
Keadaan qoti’yyah dan dzanniyyah makna masing-masing bagian diatas bisa diperinci sebagai berikut: (1) Ibaroh nash mempunyai makna qoti’ secara mutlak. (2) Isyarah nash bergantung pada qorinah. Menjadi qoti’atau dzanni sesuai dengan keadaan qorinah. (3) kedudukan makna dalalah nash seperti isyarah nash (4) dalalah iqtidlo apabila maknanya secara syari’ dan logis bisa diterima menjadi lebih kuat dari qiyas. [64]
 Apabila hermeneutiknya Paul Ricour diapliasikan pada ibarah nash dan isyarah nash maka makna yang ada pada ibarah dan isyarah nash akan menyimpang tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh mutakallim. Karena dengan teori dekonstektualisasi makna akan lepas dari apa yang dikehendaki oleh mutakallim dan dengan teori rekonstektualisasi mufassir berhak menafsirkan teks sesuai yang diinginkan terlepas dari maksud mutakallim.
Inilah yang telah dilakukan oleh Syahrur dalam teori kaynunah (kondisi berada), dimana teks turun dengan hukum yang diberlakukan waktu itu, sayrurah (kondisi berproses) yang berarti adanya perubahan waktu dan tempat, dan shayrurah (kondisi menjadi), dimana teks diposisikan otonom yang bisa ditafsirkan sesuai dengan konteksnya dengan spekulasi yang tidak lepas dari syubjektivitas. Syahrur mengatakan,
“al Quran yang selalu dijaga oleh kekuatan ilahi (Tuhan), adalah suatu kekayaan yang telah dimiliki oleh generasi paling awal hingga generasi sekarang. Karena masing-masing generasi menafsirkan Al Quran berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada abad ke-20 ini juga berhak menafsirkan al Quran berdasar semangat zaman yang mencitrakan kondisi pada masa sekarang.[65]  
Penutup
Kaidah bahasa dalam menetapkan makna ayat-ayat hukum menghasilkan makna yang pasti, jelas dan qoti’ pada keumuman syariat guna memperoleh kepastian dan ketetapan hukum. Hal ini didukung oleh sifat bahasa Arab yang ilmiyah. Bahasa Arab adalah suatu ilmu yang dapat diketahui dengan pasti, arti kata-katanya dan konsep-konsep pentingnya yang benar tidaklah relative dan tidak terus menerus berubah. Jika relative dan berubah-rubah ilmu pengetahuan mengenai Al Quran dan ajaran-ajaran Nabi yang benar tidak mungkin diketahui. Fungsi bahasa Arab sebagai alat interpretasi wahyu Al Quran dan komunikasi antara Tuhan dengan hamba-hambaNya menjadikannya mampu menggambarkan realitas dengan cara yang benar.[66]
Empat pembagian lafadz ini dari sisi kejelasan lafadznya maupun dari sisi maksud mutakallim mempunyai derajat kejelasan yang berbeda-beda. Nash lebih jelas dari dzahir. Nash dan dzahir sama-sama mempunyai kejelasan makna bagi pendengarnya. Namun nash  mempunyai qorinah nutqiyyah yang membuatnya lebih jelas daripada dzahir, baik yang datang mendahului lafadz maupun yang datang menyusul sesudahnya.  Qorinah nutqiyyah inilah yang menjelaskan bahwasannya nash itulah yang dimaksud dalam konteks kalam.
Mufassar lebih jelas dan lebih kuat daripada nash. Mufassar mempunyai wasf (sifat) yang membuatnya lebih kuat daripada nash. Mufassar tidak menerima takwil dan takhsis sementara nash menerima. Akan tetapi mufassar terbuka kemungkinan dinaskh oleh Al Quran atau Asunnah pada periode Rasululloh SAW masih hidup.  Sepeninggalnya beliau  kemungkinan itu sudah tertutup. Demikian juga Al Muhkam lebih kuat daripada mufassar. Karena sejak awal kedatangannya pada periode Rasuluulloh tidak menerima naskh, sementra mufassar menerima. Perbedaan-perbedaan derajat kejelasan lafadz ini nampak pengaruhnya ketika terjadi ta’arud (pertentangan). Dimana lafadz yang lebih kuat ditarjihkan atas lafadz yang lebih rendah kekuatan kejelasannya. Ta’arud antar  lafadz-lafadz ini  hanya bersifat performance saja bukan bersifat hakiki. karena persamaan makna adalah syarat diterimanya lafadz-lafadz yang bertentangan ini. Dinamakan ta’arud hanya bahasa metaphor saja.  
Makna-makna yang dikandung dalam lafadz dzahir dan nash (apabila tidak ada takhsis, takwil dan naskh), lafadz mufassar (apabila tidak ada naskh) dan lafadz muhkam, adalah makna yang bersifat tauqifi (given) sehingga tidak bisa disimpangkan dengan cara-cara spekulatif. Makna lafadz apabila bersumber dari nash yang qot’iyyutsubut dan qotiyyudalalh, bersifat pasti, tetap dan final, tidak dibatasi oleh kondisi ataupun konsepsi sejarah maupun sebab. Nash-nash yang datang karena sebab tertentu, sebab tersebut menjadi penegas makna namun lafadznya berlaku secara umum. Kekhususan sebab tidak bisa menjadi penghalang bagi keumuman lafadz. Seperti misalnya ,  ayat dzihar turun untuk khoulah binti Tsa’labah istrinya Aus bin Shamit, ayat lia’n turun untuk Hilal bin Umayyah, ayat pencurian turun untuk Sofwan, hadist, air itu suci dan tidak dinajisi oleh apapun kecuali apabila rasanyanya berubah, atau baunya atau warnanya. Adalah jawaban atas pertanyaan tentang air sumur bidoah.
    Sebagaiman pada pembagian lafadz dari sisi kejelasan maknanya terasa pengaruhnya ketika terjadi ta’arud. Demikian juga pembagian lafadz dari sisi maksud mutakallim.  Sebagai contoh adalah, hadist Nabi SAW, “ masa haid paling sedikit adalah tiga hari dan paling banyak adalah sepuluh hari.”[67] Secara ibarah keterangan ini menunjukkan dengan jelas masa paling sebentar dan paling lama haid. Juga diriwayatkan dari Rasululloh SAW beliau mengatakan,” salah seorang diantara kalian tinggal dalam separuh waktunya di rumah tidak sholat dan tidak puasa.” Maksudnya adalah kaum wanita menghabiskan separuh usianya tidak sholat dan tidak puasa, isyarah nash ini menunjukkan bahwa masa haid paling lama adalah lima belas hari, karena Nabi menyebutkan kegiatan dalam separuh usia demikian, hal ini mempunyai implikasi makna masa haid setiap bulan lima belas hari. Ada pertentangan antara ibarah nash dengan isyarah nash dalam menerangkan masa haid paling lama. Maka ibarah nash ditarjihkan karena ia lebih kuat.
Hukum yang tetap dengan sighatnya dengan disertai konteks kalam adalah ibarah nash dan disebut “ tsabit biibaraoh nash. Hukum yang tetap dengan sighotnya tidak disertai dengan makna konteks adalah isyrah nash dan disebut tsabit biisyarah nash. Hukum yang tetap tidak dengan sighotnya tetapi dengan sighot bahasanya adalah dilalah nash dan disebut tsabit bidalalah nash. Hukum yang tetap tidak dengan sighot tidak pula makna shighot akan tetapi dengan suatu unsur tambahan yang ada baik secara logika maupun syari’ adalah muqtadla nash dan disebut tsabit bimuqtadlo nash.    Demikianlah tidak ada celah untuk menetapakn makna lafadz diluar ibarah nash, isyarah nash, dilalah nash dan iqtidlo nash. Karena makna yang dikandung lafadz harus dalam koridor maksud mutakallim. Menetapkan makna dengan berdasarkan teori dekonstektualisasi dan rekonstektualisasi Paul Ricour hanya akan menghasilkan hukum yang menuruti keinginan hawa nafsu. tidak ada hak manusia untuk melakukan intervensi atas sesuatu hak Allah. Makna adalah apa yang dikehendaki oleh Allah bukan apa yang dikehendaki manusia.
Pokok-pokok syariat yang sebagian besar masalah-masalah aqidah, ibadah, muharramat (perkara-perkara yang diharamkan) serta akhlak, adalah perkara-perkara tsawabit ( yang tetap) yang bersifat qoti’ dan mawadai’ al ijma yang oleh Allah ditegakkan dengan hujjah-hujjah yang terang dalam kitabNya, atau melalui lesan NabiNya SAW. Tak ada ruang untuk di dalamnya untuk pengembangan atau untuk ijtihad. Barang siapa menyelisihinya maka ia telah menyimpang.[68] Adapun dalam perkara-perkara yang mutaghayyirat adalah perkara-perkara yang tidak didukung oleh dalil yang qoti’ dari nash yang sahih atau ijma yang sorih.Terbuka untuk dilakukan ijtihad untuk memahami maknanya. Imam Assyafii’ memberikan contoh kata (القرء) dalam ayat Al Quran. Ayat tersebut tafsirannya mengandung dua makna, yakni suci dari haid dan haid.[69]

DAFTAR PUSTAKA

Wan Moh Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam SM. Naquib Al Attas, Penerbit Mizan, Bandung, Ttt.
Imam Syatibi, Al Muwafaqot fii Ushul As Syariah, Beirut Daar Kutub Al Ilmiyyah,2005
Syamsuddin Arief,Orientalisme dan Diabolisme Intelektual, Gema Insani,2008
Asep Hidayat, Filsafat Bahasa, Remaja Rosda Karya Bandung,2006
E. Sumaryono, Hermeneutika sebuah metode Filsafat, penerbit Kanisius, 1999
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta 2008
Abdulloh Yusuf Mustofa Al Azzam, Dilalah Al Kitab Waassunnah ‘ala ahkam, jamiyyah Al Azhar kulliyyah Assyariah Kairo Mesir 1993
Al Sarkhasi, Ushul Al Sarkhasi, Daar Almarifah, Beirut 1993
Saifuddin Al Amidy Al Ihkam fii Ushul al ahkam, Muassasah al Halabi Kairo
Abu Ya’la, Muhammad ibn Al Husyn al Farra, Al uddah Fii Ushul Fiqh, Daarul Kutub Al Ilmiyyah, (Beirut 2002)
Abdul Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, Pustaka Amani, (Jakarta 2003)
Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Barr
Jalaluddin Assuyuti, Lubabunnuqul, fii Asbabinnuzul,Daar Ma’rifah Beirut 2000
Muhammad Taufik Muhammad Said, Dilalah Alfadz ‘ala Al Maani, Maktabah Wahbah Kairo 2009
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2008
Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Al Islami, Daarul fikr, Damaskus 1986
Al Hambaly, Al Uddah fii ushul Fiqh, Daar Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Lebanon
Abdul karim Zaidan, Al Wajiz fii Ushul Fiqh, Daarussalam, Kairo 2004
Fazlurrahman, Islam dan Tantangan Modernitas, Transformasi Intelektual, penerbit pustaka, (Bandung 2005)
M. Syahrur, Al Kitab wa Al Quran, Qiroah Al Muasiroh, terjemahan Prinsip Dasar Hermeneutka Islam Kontemporer,
Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Gema Insani, Jakarta 2006







[1] Kaidah ini penting untuk menafsirkan teks-teks berbahasa Arab, karena kaidah-kaidah ini adalah parameter dan rambu-rambu untuk memahami kalimat-kalimat berbahasa Arab, qonun apapun yang berbahasa Arab dalam memahami lafadznya  tunduk kepada parameter ini. Mengabaikan kaidah bahasa ini dalam menafsirkan nash akan menyebabkan kesalahan dalam memahami hukum yang berimplikasi pada kesalahan penerapan nash-nash.
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam S.M. Naquib Al Attas, penerbit Mizan, (Bandung, Ttt) h. 361
[3] Ibnu Faris mengatakan,” Berdasarkan petunjuk analogi bahasa makna adalah maksud yang nampak dalam sesuatu apabila dicari, yaitu yang nampak dalam kandungan lafadz. Lihat: Muhammad Taufik, Dilaalatu al- Alfadz ‘Ala al-Ma’na, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009 ) h. 39  
[4] Syamsuddin Arief, Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam, dalam jurnal ISLAMIA, Thn II,no.5/April-Juni 2005, h. 34
[5] Imam Asy- Syathibi, Al- Muwaafaqot Fii Ushul Asy- Syariah, Daar Kutub al- ‘Ilmiyyah, (Beirut, 2005) h. 24
[6] Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Intelektual, Gema Insani, (Jakarta, 2008) h. 182
[7] Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Intelektual, Gema Insani, (Jakarta, 2008) h. 180
[8] Asep Hidayat, Filsafat Bahasa, Remaja Rosda Karya, (Bandung, 2006) h. 169
[9] E. Sumaryono, Heurmeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, (Yogyakarta, 1999) h. 102
[10] Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Gema Insani, (Jakarta 2006) hal 152
[11] Lihat Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Penerbit Pustaka Firdaus, (Jakarta, 2008) h. 167. Lihat juga: Abdulloh Yusuf Musthofa ‘Azzam, Dilaalah Al- Kitaab wa As- Sunnah ‘Ala al- Ahkaam, Jam’iyyah Al- Azhar Kulliyyah Asy- Syariah, (Mesir, 1993) h………………….
[12] Abdulloh Yusuf Musthofa ‘Azzam, Dilaalah Al- Kitaab wa As- Sunnah ‘Ala al- Ahkaam, Jam’iyyah Al- Azhar Kulliyyah Asy- Syariah, (Mesir, 199) h. 104
[13] Al- Sarkhasi, Ushul Asy- Syarkhasi, Daar Al Marifah, jilid 1, (Beirut, 1993) h. 163
[14] Sayf al- Din Abi Hasan ‘Ali Ibn ‘Ali al-am al-amidy, Al- Ihkam Fii Ushul al- Ahkam, Muassasah al Halabi, (Kairo, 1967) h.
[15] Abu Ya’la Muhammad Ibn al- Husayn al- Farra’, Al- ‘Uddah Fii Ushul Fiqh, Daar al- Kutub al- ‘Ilmiyah, (Beirut, 1990) h…………….
[16] Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Daar al- Qolam, (Kairo, 1978) h………..
[17] Lihat: QS Al- Baqoroh [02]: 275
[18] Ibnu Hajar Al- Asqolani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Jilid 9, (……………) sh. 272
[19] Lihat: QS Ali Imron [03): 130
[20] Jalaluddin Assuyuthi, Lubabunnuqul Fii Asbaab An- Nuzuul, Daar Ma’rifah, (Beirut, 2000) h. 51-52
[21] Al Sarkhasi, Ushul Assarkhasi, Daar Al Ma’rifah, Jilid 1, (Beirut, 1993) h. 163
[22] Muhammad Taufik Muhammad Sa’id, Dilaalatu al- Alfadz ‘Ala Al- Ma’ani, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009) h. 573
[23] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jilid 2, (Jakarta, 2009)  h. 6. Lihat juga:  Abdullah ‘Azzam, Dilaalatu al- Kitab wa as- Sunnah ‘Ala al- Ahkam, Al Azhar Kulliyyat Syariah, (Mesir,  1993) h. 125
[24] Muhammad Taufik Muhammad Sa’id, Dilaalatul al- Alfadz ‘Ala al- Ma’ani, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009) h. 575
[25] Al- Sarkhasi, Ushul Assarkhasi, Daar Al- Ma’rifah, Jilid 1, (Beirut, 1993) h. 164
[26] Lihat: QS An- Nisa [04]: 3
[27] Al- Sarkhasi, Ushul As- Sarkhasi, Daar Al Ma’rifah, Jilid 1, (Beirut, 1993) h. 163
[28] Wahbah Az- Zuhaily, Ushul Fiqh Al- Islami, Daar al- Fikr, Jilid 2, (Damaskus, 1986) h. 320
[29] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, (Jakarta, 2008) h. 8
[30] Abdulloh Musthofa ‘Azzam, Dilaalatu al- Alkitab wa As- Sunnah ‘Ala al- Ahkaam, Jam’iyyah Al- Azhar Kulliyyah Asy- syari’ah, (Mesir, 1993) h. 143
[31] Lihat: QS Al- Baqoroh [02]: 275
[32] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al- Fiqh, Daar al- Qolam, (Kuwait, 1997) h. 239
[33] Al- Hambali, Al- ‘Uddah Fii Ushul Fiqh, Daar al- Kutub al- ‘Ilmiyyah, (Beirut,  2002) h. 71
[34] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, (Jakarta, 2008) h. 9
[35] Lihat: QS An- Nur [24]: 23
[36] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al Islami, Daarul Fikr Damaskus Syiria 1986, hal 321
[37] Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz fii Ushul Fiqh, Muassasah Arrisalah Beirut Lebanon, hal 344
[38] QS. Al Baqoroh ayat 110
[39] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerbit pustaka Firdaus (Bandung, 2008) h. 178
[40] Lihat Abdulloh Mustofa Azzam, Dilalah Alkitab Waassunnah Ala Al Ahkam, Jamiyyah Al Azhar kulliyyah Assyariah, (Kairo Mesir 1993) h.183
[41]Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al Islami, Daarul Fikr (Damaskus Syiria 1986), hal 323
[42] Muhammad Ubaidillah Al Isadi, Al Mujiz fii Ushul Fiqh,Daarussalam, (Kairo Mesir,1998) hal 141.
[43] QS. Muhammad ayat 19
[44] QS. Al Ikhlas ayat 1
[45] QS. Yunus ayat  31
[46] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual , Penerbit Pustaka, (Bandung1985)h. 6
[47]  Fazlurrahman, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual , Penerbit Pustaka, (Bandung1985) hal 7
[48] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual , Penerbit Pustaka(Bandung, 1985) hal 8
[49] Ibid. hal 69
[50] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,Pustaka Firdaus(Jakarta, 1994)h. 204
[51] QS. Annisa ayat 3
[52] Ibid. hal 205
[53] Al Syarkhisyi, Abu baker, Ushul Al Syarkhisyi…hal
[54] QS. Al Baqoroh ayat 233
[55] Muhammad Ubaidillah Al Isadi, Al Mujiz fii Ushul Fiqh,Daarussalam, Kairo Mesir, hal 173                         
[56] Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz …hal 359
[57] Muhammad Abu Zahrah, Ushul..hal 208
[58] Al Syarkhisyi, Abu baker, Ushul Al Syarkhisyi…hal
[59] Muhammad Ubaidillah Al Isadi, Al Mujiz fii ushul fiqh, Daarussalam,(Mesir 1998), hal 174
[60]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerbit pustaka Firdaus 2008, hal 210
[61]Muhammad Ubaidillah Al Isadi, Al Mujiz fii ushul fiqh, Daarussalam,(Mesir 1998), hal  175
[62] QS. Al Baqoroh 178
[63] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerbit pustaka Firdaus 2008, hal 211
[64] Muhammad Ubaidillah Al Isadi, Al Mujiz fii ushul fiqh, Daarussalam,(Mesir 1998), hal 178
[65] M. Syahrur Al Kitab Wa Al Quran; qiroah muasiroh, terjemahan  prinsip dasar hermeneutika hum islam kontemporer, Yogyakarta,2007, hal 6 [66] Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam SM Naquib Al Attas, penerbit Mizan, hal 354
[67] Diriwayatkan secara marfu’ dan mauquf, yang mauquf kebanyakan oleh Daaruqutny dalam kitab haid antara halaman 19 sampai 30. Sedangkan yang marfu’ diriwayatkan oleh Abi Imamah, wastilah bin Asqo’, muadz bin jabal, Abu Said bin Al Khudri, anas bin Malik dan Abdulloh bin amru bin Ash diriwayatkan oleh Attobroni, Daaruqutni, Ibnu Adi,Ibnu Hibban dan Ibnu Jauzi ( Nasbu Royah 191-193, Daaru Qutni dengan ta’liq dari Al Mughni jilid hal 218 dan Mujma’ azzawaid jilid 1 hal 385).
[68] Sholah Ash Showi, Atsawabit walmutaghayyirat , Al Muntada al Islami, Daarul Ilam Ad Duwali , (Kairo Mesir 1994) hal 67
[69] Ibid. hal 66



http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/ushul-fiqh-amr-nahi-mujmal-dan-mubayyan/s
A. AMR
  1. Perintah dan kriterianya
Menurut bahasa arab artinya perintah, menurut istilah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa Amr itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amr, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz (samar).
Jadi Amr merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan, jika tidak demikian maka tidak termasuk kategori Amr.
Syarat yang harus ada pada kata Amr (permintaan) adalah :
a. Harus berupa ucapan permintaan (Amr) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan (Amr)
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do’a.
  1. Bentuk-bentuk
Menurut Hudhori Bik di dalam Tarikh Tasyri disampaikan beberapa bentuk Amr antara lain :
a. Melalui lafadz amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan).
b. Menggunakan lafadz kutiba atau diwajibkan.
c. Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (Jumlah Khabariyah), tetapi yang dimaksud adalah perintah.
d. Perintah yang menggunakan kata kerja perintah langsung.
e. Fiil Mudhari’ yang disertai Lam Amr (huruf lam yang mengandung perintah).
f. Perintah dengan menggunakan lafadz faradha
g. Perintah dalam bentuk penilaian bahwa itu baik.
h. Perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi pelakuknya.
  1. Hukum-hukum yang mungkin ditunjukkan oleh bentuk Amr.
Menurut Adib Saleh ahli Ushul Fiqh asal Damaskus, berbagai bentuk Amr diatas membawa beberapa pengertian antara lain :
a. Menunjukkan hukum wajib, seperti perintah shalat dalam surat al-Baqarah : 110 :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨“9$#
Artinya :
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
b. Menjelaskan bahwa sesuatau itu Mubah hukumnya, seperti firman Allah surat al-Mukminun : 51
$pkš‰r‘¯»tƒ ã@ß™”9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh‹©Ü9$#
Artinya :
“Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik”
c. Untuk menunjukkan anjuran, seperti perintah menulis hutang piutang dalam surat Al-Baqarah : 282.
$yg•ƒr‘¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
d. Untuk melemahkan, seperti firman Allah surat al-Baqarah : 23 :
bÎ)ur öNçFZà2 ’Îû 5=÷ƒu‘ $£JÏiB $uZø9¨“tR 4’n?tã $tRωö7tã (#qè?ù‘sù ;ou‘qÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#y‰ygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹
Artinya :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
e. Sebagai ejekan dan penghinaan, seperti firman Allah surat al-Dukhan : 49 :
ø-èŒ š¨RÎ) |MRr& Ⓝ͓yèø9$# ãLq̍x6ø9$#
Artinya :
Rasakanlah, Sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi mulia”.
B. NAHI
1. Pengertian.
Dalam bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u). Menurut istilah meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain yang tingkatannya dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.
Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Ÿwur (#r߉šøÿè? †Îû ÇÚö‘F{$#
Artinya :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.
Melarang perbuatan kerusakan dimuka bumi berarti perintah menjaga kelestarian lingkungan dengan menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman.
Dengan demikian jika suatu perbuatan itu dilarang maka saat itu juga harus segera ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang masa.
2. Pendapat Al-Ghazali dan al-Amidi bahwa arti yang terkandung dalam Nahi itu ada tujuh macam antara lain :
a. Al-Tahrim, seperti ayat :
وَلاَتَقْتُلُوْ النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ الله اِلاَّ بِاالْحَقِّ
Artinya:
“Janganlah kalian membunuh seseorang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak.”
b. Al-Karahah, seperti hadits :
لاَيُمْسِكِ ذَكَرَهُ بِيَمِنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ (رواه اصحاب الكتب الاضلم)
Artinya :
“Janganlah kalian memegang dzakar (kemaluan) dengan tangan kanan ketika buang air kecil”.
c. Al-Do’a, seperti ayat :
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْ بَنَا بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا
Artinya:
“Ya Allah janganlah kamu tutup hatiku setelah engkau memberi petunjuk padaku”.
d. Al-Irsyad (petunjuk), seperti ayat :
لاَتَسْئَلُوْا عَنْ اَشْيَاءٍ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya:
“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu yang apabila ditampakkan maka kalian mendapati tercela”.
e. Al-Taqbih (menegur), seperti ayat :
وَلاَتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلَى مَا مَتَعْنَا بِهِ اَزْوَاجًا مِنْهُمْ
f. Tais ( تَيْئِسْputus asa), seperti ayat :
لاَتَعْتَذِرُوْا الْيَوْمَ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Artinya:
“Janganlah kalian beralasan pada hari ini karena sesungguhnya akan dibalas amal-amal yang telah kalian lakukan”.
g. Menjelaskan adanya akibat (bayan al-aqibah), seperti ayat :
وَلاَتَحْسَبَنَّ الله غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلْ الظَّا لِمُوْنَ
Artinya:
“Janganlah kalian menyangka Allah adalah Dzat yang lupa atas perkara yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah berbuat kedzaliman”.
3. Bentuk-bentuk Nahi.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya :
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 :
4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur
Artinya :
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf :
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }‘În/u‘ |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$#
Artinya:
Katakanlah : “Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
c. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan contoh, surat An-Nisa’ ayat 19 :
$yg•ƒr‘¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw ‘@Ïts† öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $döx.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
d. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152 :
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ çn£‰ä©r&
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 :
(#râ‘sŒur tÎg»sß ÉOøOM}$# ÿçmoYÏÛ$t/ur
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi”.
f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.
šúïÏ%©!$#ur šcrã”Éõ3tƒ |=yd©%!$# spžÒÏÿø9$#ur Ÿwur $pktXqà)ÏÿZム’Îû È@‹Î6y™ «!$# Nèd÷ŽÅe³t7sù A>#x‹yèÎ/ 5OŠÏ9r&
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
g. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180.
Ÿwur ¨ûtù|¡øts† tûïÏ%©!$# tbqè=y‚ö7tƒ !$yJÎ/ ãNßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù uqèd #ZŽöyz Nçl°;
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193.
ÈbÎ*sù (#öqpktJR$# Ÿxsù tbºurô‰ãã žwÎ) ’n?tã tûüÏHÍ>»©à9$#
“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.
C. MUJMAL
1. Pengertian
Dalam bahasa artinya dalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah lafadz-lafadz yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuatan mujmal (syara’).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mujmal suatu lafadz yang dzatiahnya khilafi, tidak bisa dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari syara’, seperti shalat, zakat dan riba.
Ada beberapa sebab suatu lafadz disebut mujmal, yaitu :
a. Lafadz yang mempunyai makna mustarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya lafadz qur`in dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah : 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr‘Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”
b. Suatu lafadz yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata halu’a pada firman Allah surat al-Ma’arij 19-21
¨bÎ) z`»|¡SM}$# t,Î=äz %·æqè=yd . #sŒÎ) çm¡¡tB •ޤ³9$# $Yãrâ“y_ . #sŒÎ)ur çm¡¡tB çŽösƒø:$# $¸ãqãZtB
Artinya :
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,”
c. Pemindahan lafadz dari makna kebahasa menuju makna secara istilah atau menurut Syara’, seperti lafadz Shalat, Zakat, Puasa dan Haji.
D. MUBAYYAN
1. Pengertian
Mubayyan adalah mengeluarkan sesuatu lafadz dari kerancuan dan tidak adanya arti yang dapat dipahami, sampai artinya menjadi jelas dan bisa dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bisa menunjukkan pada arti yang dikehendaki.
2. Dilihat dari kejelasan maknanya
Mubayyan dibagi menjadi 2 bentuk :
a. Al-Wadhih bi Nafsihi yaitu lafadz yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaan sehingga tidak membutuhkan penjelasan lafadz lain. Kejelasan lafadz ini diketahui melalui :
1) Pendekatan bahasa, seperti firman Allah surat Al-Baqarah : 281
ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ
Artinya:
“Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
2) Dengan menggunakan akal, seperti firman Allah surat yusuf : 82
. È@t«ó™ur sptƒös)ø9$# ÓÉL©9$# $¨Zà2 $pkŽÏù uŽÏèø9$#ur ûÓÉL©9$# $uZù=t6ø%r& $pkŽÏù (
Artinya :
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu”.
b. Al-Wadih bi ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafadz-lafadz lain misalnya, firman Allah surat al-Maidah : 141
وَاتُو حَقَّهُ يَوْمً حَصَادِهِ
Astinya :
“Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).”

KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa nahi, amar, mujmal dan mubayan merupakan metode untuk mengetahui dan memahami kejelasan makna yang terkandung dalam al-quran dan sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Satria dan M. Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta : Rencana Prenada Media group.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta : Zikrul Hakim.
Safe’i, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fikih. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Zein, Muhammad Ma’sum. 2008. Zubdah Ushul Al- fiqh. Jawa Timur : Darul Hikmah.
Sumber: http://makalah-makalahkuliah.blogspot.com/2010/06/u-fiqh_5840.htmlhttp://makalah-makalahkuliah.blogspot.com/2010/06/u-fiqh_5840.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar