C. LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh.
Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan
hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah)
lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada
yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh
yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash.
Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal.
Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir.
Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok
untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki,
baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat),
seperti lafazh guru’ bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata
majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah:
237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja
seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf
seperti pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan.
Untuk mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di
ungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori
ulama tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antara
tingkatan-tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan diuraikan
lebih lanjut.
2. Tingkatan
Lafazh dari Segi Kejelasannya.
Ada dua
kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan
Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan
berikut:
Pembagian
lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau
di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan
Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup
jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut
Ulama Hanafiah
2.1.1 Zhahir
Berikut beberapa definisi tentang
Zahir:
“Suatu nama
bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk
lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu yang dapat diketahui
maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan
petunjuk lain, melainkan langsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun,
lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih
menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu
makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar
lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan
dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143)
Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya jelas,
yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tsb diambil dari
lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah lain.
Masing-masing dari lafazh al-bay‘
dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di-takhsis.
Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu
sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, men-takwil-nya atau
me-nasakh-nya.
2.1.2 Nash
Nash mempunyai
tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan
bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan
qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf
‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering
disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada
zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya
daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari
rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud
Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang
menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia
mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah
daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat
dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir
sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash
lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba)
karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Kedudukan hukum lafazh Nash sama
dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya
asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan
antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada
lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh
sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh
nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa
lafazh zhahir pada lafazh Nash.
2.1.3 Mufassar
Mufassar adalah
lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas,
sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa
Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
“ Suatu nama
untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta
tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi
ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan
nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil
atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali
tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
“Dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya;
dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Dilalah
mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang
me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan
dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh
mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak
mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah
apabila ada dalil yang mengubahnya.
2.1.4 Muhkam
Muhkam menurut
bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti
dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya
penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam
adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan jelas
serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan
dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman
Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui
terhadap segala sesuatu.”
Apabila lafazh
Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya
‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT,
tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam
itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam
dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari
nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam
wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan
tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dilalah
yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus
didahulukan adalah dilalah muhkam.
2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh
Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya
terhadap penetapan Hukum
terhadap penetapan Hukum
2.2.1 Pertentangan antara zhahir
dan nash
Misalnya
dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)
”dan dihalalkan
bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu mencari dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa
:24)
yang
bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang
saja (Nash).
”Dan jika kamu
tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan), maka kawinilah
perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat.Maka jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah
budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-Nisa : 3).
Dilalah yang diambil adalah yang
kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat
daripada dilalah zhahir.
2.2.2 Pertentangan antara Muhkam
dengan Nash
Misalnya, surat
An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan dibatasi empat orang
(Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti
(hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat
selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)
Walaupun
dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah dengan syarat
tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda
Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena
dilalah ayat ini muhkam.
2.2.3 Pertentangan antara Nash
dengan Mufassar
Dari ‘Aisyah,
ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya
aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku
harus meninggalkan shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah
bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan
berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan
mustahadah.”( As-Syaukani, I : 299 ).
Dalam riwayat lain memakai
ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits
pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat, sekali saja.
sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat, sehingga berlaku
untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu
masih ada.
Hadis riwayat
pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk mufassar.
Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.
2.2.4 Pertentangan antara
Mufassar dengan Muhkam
“..dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS. Ath- Thalaq : 2) dengan
surat An – Nur ayat 4:
“….dan janganlah kamu terima
persaksian mereka buat selama-lamanya”
Ayat pertama
termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima
kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal
ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
2.3 Tingkatan- Tingkatan
Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafi’iyyah)
Menurut Imam
Syafi’i tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak membedakan antara
zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Imam Asy-Syafi’i,
nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-masing, Nash adalah suatu
lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai
kemungkinan untuk ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali, “Suatu
lafazh yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat
maupun takwil jauh.“ Dan ” Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang
diterima serta muncul dari dalil. Adapun kemungkinan yang didukung dengan dalil
maka lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.” (Al–Gazali, I, 1322 H, :
385- 386).
http://ruqi86.blogspot.com/2011/04/metode-istinbat-hukum-islam-2-metode.html?zx=1be6b0555df46b12
METODE ISTINBAT HUKUM ISLAM 2 (METODE BAYANI)
Metode bayani adalah suatu penjelasan secara komprehensif
terhadap teks nas untuk mengetahui bagaimana cara lafal nas menunjukkan kepada
hukum yang dimaksudkannya. Dalam kajian ini ijtihad cenderung dipandang sama
dengan tafsir sebagai penjelasan terhadap maksud-maksud nas dengan memasukkan
semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik). [1]
Sedangkan secara lebih sempit Muhammad Salam Madkur menjelaskan bahwa yang dimaksud ijtihad bayani adalah : [2]
بَذْلُ اْلجُهْدِ لِلتَّوَصُّلِ اِلَى اْلحُكْمِ اْلمُرَادِ مِنَ النَّصِّ الظَّنِّيِّ الثُّبُوْتِ أَوِ الدَّلاَلَةِ أَوْ هُمَا مَعًا
“Upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai hukum yang dikehendaki dari teks nas} yang z}anni, baik secara wurud maupun petunjuknya atau kedua-keduanya.”
Metode secara literal ini dapat dibagi ke dalam empat bagian pembahasan. Pertama dari segi jelas tidaknya, kedua segi dalalah-nya, ketiga dari luas-sempit cakupan maknanya dan keempat dari segi bentuk-bentuk yang digunakannya untuk menyatakan taklif. [3]
1.Segi jelas tidaknya lafal (بِاعْتِبَارِ اْللَفْظِ لِلْمَعْنَى)
Dilihat dari segi petunjuk lafal atas maknanya dalam hal kejelasan dan tidaknya maka lafal dapat dibagi menjadi dua, yaitu lafal yang petunjuk maknanya jelas (wad}ih ad-dalalah) dan ada pula yang tidak jelas (khafi ad-dalalah / gairi wadih ad-dalalah).
a.Wadih al-Dalalah
Yang dimaksud dengan Wadih ad-dalalah adalah: [4]
مَا دَلَّ عَلَى مَعْناَهُ بِصِيْغَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى أَمْرٍ خَارِجٍ
“Lafal yang menunjukkan pada maknanya dari segi bentuknya tanpa mencari penjelasan dari luar”
Lafal-lafal yang jelas ini membawa konsep untuk bisa dimengerti tanpa perlu adanya interpretasi. Ketentuan yang dikemukakan dengan menggunakan kata-kata yang jelas menjadi dasar dari kewajiban tanpa perlu adanya takwil. [5]
Menurut ulama Hanafiyah lafal yang petunjuk maknanya jelas terbagi menjadi empat, yaitu zahir, nas, mufassar dan muhkam. Dalam hal ini kejelasan dalalah-nya adalah menurut tertib urutannya dari belakang, dengan kata lain lafal muhkam menjadi lafal yang paling jelas dalalah-nya. Sedangkan manfaat dari perbedaan ini akan tampak ketika terdapat kontradiksi.
1)Lafal zahir
Muhammad Salam Madkur memberikan pengertian lafal zahir sebagai : [6]
اَللفْظُ بِاعْتِبَارِ دَلاَلَتِهِ عَلىَ مَعْنَى مُتَبَادُرٍ مِنْهُ وَلَيْسَ مَقْصُوْدًا أَصَالَةً مَعَ احْتِمَالِهِ التَّفْسِيْرَ وَالتَّأْوِيْلَ وَقُبُوْلِهِ النَّسْخَ فِيْ عَهْدِ الرِّسَالَةِ
“Lafal yang maknanya dapat diperoleh tanpa pikir panjang tetapi tidak dimaksudkan sebagai makna pokok, ia dapat menerima tafsir, ta’wil dan nasakh pada zaman risalah”.
Atau bila menurut penjelasan M. Hashim Kamali adalah kata yang mempunyai makna yang jelas atau menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar tetapi terbuka bagi adanya takwil, terutama karena makna yang dibawanya tidak sesuai dengan konteks di mana kata itu terdapat. Ia merupakan kata yang mempunyai makna harfiyah/makna asli dari dirinya yang membuka kemungkinan bagi interpretasi yang berbeda. Lafal ini wajib diamalkan selama tidak ada dalil yang menafsirkan, mentakwil, atau me-nasakh-nya. [7]
Contoh dari lafal zahir adalah :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَقْسِطُوْا فِي اْليَتَامَى فاَنْكِحُوْا مَا طاَبَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُباَعَ. . .
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat… ” (QS. Al-Nisa’: 3)
Dalam ayat tersebut terdapat dua ketentuan: Pertama, perintah untuk mengawini wanita-wanita yang disukai dan kedua adalah perintah untuk membatasi jumlah istri dalam satu periode sebanyak empat orang. Perintah yang pertama bukanlah maksud pokok, ia adalah maksud taba>’iyyah (ikutan). Sedangkan maksud pokoknya adalah pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawin dalam satu periode. [8]
2)Lafal nas
Yang kedua adalah lafal nas yaitu lafal yang menunjukkan makna pokok dalam konteks pembicaraan. Ia dapat ditafsir dan ditakwilkan serta dapat di nasakh pada zaman risalah.[9] Contohnya firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتِ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍقلى
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. ” (QS. Al-Baqarah : 228)
Dalam ayat tersebut terdapat lafal al-mutallaqat (wanita-wanita yang dicerai oleh suaminya). Ia termasuk lafal ‘am yang tetap akan keumumannya selama tidak ada dalil yang membatasinya. Lafal al-mutallaqat ini dibatasi oleh surat at-Talaq ayat 4 yang menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan dan surat al-Baqarah ayat 234 yang menyatakan bahwa ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.
3)Lafal mufassar
Secara sederhana lafal mufassar dapat diartikan sebagai [10]
مَا دَلَّ بِنَفْسِهِ عَلَى مَعْنَاهُ اْلمُفَصِّلُ تَفْصِيْلاً لاَ يَبْقَى مَعَهُ احْتِمَالِ لِلتَّأْوِيْلِ
“Nas yang dengan sendirinya dapat menunjukkan pada artinya yang terinci dan tidak ada kemungkinan takwil baginya”
Sebagian ulama seperti Wahbah az-Zuhaili menambahkan keterangan bahwasanya lafal mufassar walaupun tidak menerima tafsir atau takwil tetapi masih dapat menerima nasakh di zaman risalah. [11]
Lafal Mufassar dapat dibedakan menjadi dua yaitu lafal yang mufassar karena zatnya, yaitu lafal yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain. Kedua adalah lafal yang mufassar karena yang lain, yaitu lafal yang memerlukan penjelasan dari ayat atau hadis yang lain. Misalnya adalah surah an-Nisa’ ayat 29 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...” (Q.S. an-Nisa’: 29).
Ada dua perintah yang dapat ditangkap dalam ayat ini. Pertama, mencegah untuk memakan harta dengan cara yang batil dan yang kedua perintah untuk melakukan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling merelakan. Kebolehan atas perniagaan yang berdasarkan saling keridaan termasuk mufassar. Ia tidak dapat ditafsirkan dan ditakwilkan. Akan tetapi, ia dapat dibatasi keumumannya oleh dalil lain yaitu berdasarkan sabda Nabi Muhammad s.a.w tentang perniagaan garar.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَارِ
“Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang dilakukan dengan cara yang garar”
4)Lafal Muhkam
Sedang lafal muhkam dapat diartikan dengan lafal yang dengan sendirinya menunjukkan pada makna yang jelas dan dalam hal ini tidak menerima adanya takwil dan tafsir dan juga nasakh, baik di zaman kenabian atau sesudahnya. Di antara ayat yang dijadikan contoh oleh ulama dalam memperjelas lafal muhkam adalah firman Allah surah al-Isra’ ayat 23:
وَقَضى رَبكَ أَلا تَعْبُدُوْا الا ايَاهُ وَباْلوَالدَيْن احْسَاناً
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Q.S. al-Isra’ : 23).
Perintah untuk menyembah hanya kepada Allah dan perintah berbuat baik kepada ibu – bapak merupakan lafal muhkam. Ia tidak dapat ditafsirkan atau ditakwilkan dengan arti lain, dan juga tidak di-nasakh pada zaman kenabian. [12]
Sedangkan menurut ulama ushuliyyin lafal yang demikian hanya dapat dibagi atas dua bentuk yaitu:
1)Lafal zahir
Lafal zahir dimaksudkan dengan sesuatu (lafal) yang menunjukkan pada maknanya dengan penunjukkan yang bersifat zanni, dan dalam hal ini dapat menerima takwil. Munculnya penunjukkan itu bisa jadi dari tatanan kebahasaan seperti penunjukan lafal ‘am atas segala bentuk mufradnya atau dalam segi pengertian seperti penunjukkan kata shalat menurut pengertian syara’. [13] Dalam pengertian ini maka zahir mencakup pada pengertian lafal zahir dan nas dalam pandangan Hanafi.
2)Lafal nas
Lafal nas adalah lafal yang tidak menerima takwil atau lafal itu menunjukkan pada suatu makna dengan penunjukan yang qat’i. [14] Dalam pengertian yang demikian maka akan mencakup pengertian dari lafal mufassar dalam pandangan ulama Hanafiyah.
Adapun muhkam dalam pandangan jumhur terasimilasi pada lafal nas, dan zahir, di mana lafal tersebut menunjukan pada maknanya dengan penunjukan yang jelas, baik penunjukannya secara zanni atau qat’i. [15]
b.Khafi ad-dalalah
Khafi ad-dalalah adalah : [16]
مَا لاَ يَدُلُّ عَلىَ اْلمرُاَدِ مِنْهُ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ بَلْ يَتَوَقَّفُ فَهْمَ اْلمُرَادِ مِنْهُ أَمْرُ خَارِجِهِ
“Lafal yang tidak menunjukkan pada makna sebenarnya, akan tetapi menunjukkan pada pengertian sesuatu diluarnya ”
Seperti pada pembagian wadih ad-dalalah, ulama Hanafiyah membagi khafi ad-dalalah menjadi empat bagian yaitu al-khafi, al-musykil, al-mujmal dan al-mutasyabih.
1)al-Khafi
Al-khafi dapat diartikan sebagai:
مَا كَانَ ظَاهِرُ الدَّلاَلَةِ عَلَى مَعْناَهُ لَكِنْ عَرَضَ لَهُ شَيْئٌ مِنَ الْخَفَاءِ بِسَبَبِ لَفْظِهِ
“Lafal yang jelas maknanya tetapi karena sebab lain maka ia menjadi samar”
Tegasnya, lafal zahir bisa menjadi khafi bila diterapkan pada masalah lain di mana masalah tersebut tidak sama persis dengan apa yang terdapat pada kata itu. [17] Sebagai contohnya adalah pengertian as-sariq pada surat al-Maidah ayat 38:
اَلسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
Lafal sariq dalam ayat di atas sudah jelas yaitu orang yang mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanan dengan cara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi ia menjadi samar apabila dihubungkan dengan pencopetan, korupsi dan pencurian kain kafan. [18]
2)Al-Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertianya dan ketidakjelasan itu disebabkan kata tersebut dipergunakan untuk beberapa pengertian yang berbeda, sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar.[19] Misalnya kata quru’ dalam surah al-Baqarah ayat 228 :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”
Kata quru’ dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai masa suci atau masa haid, di mana pengambilan kesimpulan akan makna tersebut didasarkan pada qarinah (petunjuk) atau dalil dari luar yang berbeda pula.
3)Al-Mujmal
Lafal mujmal yaitu lafal yang mengandung makna secara global yang tidak bisa dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal itu sendiri (syari’). [20] Misalnya kata shalat, zakat dan haji.
4)Lafal Mutasyabbih
Lafal mutasyabbih yaitu lafal yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syari’ sehingga pihak yang mengetahui maksudnya hanyalah pembuat syariat itu sendiri. [21]
Berbeda dengan ulama Hanafiyah yang membagi segi ini menjadi empat bagian, maka ulama mutakallimin hanya membaginya menjadi satu bagian saja, yaitu mujmal atau mutasyabih. Dalam hal ini mujmal merupakan bagian dari pada mutasyabbih.[22] Selain itu mereka juga berbeda dalam memberikan definisi tentang lafal ini, namun secara umum dapat dikatakan sebagai lafal yang menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas. [23]
2.Segi Dalalah (بِاعْتِبَارِ كَيْفِيَةِ دَلاَلَةِ اْللَفْظِ عَلَى اْلمَعْنَى)
Ulama Hanafiyah membedakan penunjukan lafal terhadap maknanya menjadi empat, yaitu dilalah al-‘ibarat, dilalah al-isyarah, dilalah an-nas dan dilalah al-iqtida’.
a.Dilalah al-‘ibarat yaitu penunjukan kata terhadap makna secara tidak pikir di mana maksud pokok atau tambahannya dapat diketahui berdasarkan susunan kalimatnya. Atau dalam pengertian yang lebih ringkas adalah mengamalkan zahir lafal dari sisi siyaq al-kalam. [24] Misalnya firman Allah surah al-Nisa’ ayat 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَقْسِطُوْا فِي اْليَتمى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنى وَثُلثَ وَرُبعَصلى فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْج ذَا لِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُوْلُوْا. . .
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. an-Nisa’: 3).
Dari segi susunan kalimat, maksud pokok dalam ayat tersebut adalah kewajiban mengawini seorang istri saja bila khawatir tidak mampu berlaku adil.
b.Dilalah al-isyarat secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu makna yang didapatkan berdasarkan penelitian yang mendalam. Ia tidak termasuk makna yang tesurat, tetapi yang tersirat. Misalnya firman Allah surat al-Baqarah ayat 236:
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةًج وَمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى اْلمُوْسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى اْلمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَعًا بِاْلمَعْرُوْفِصلى حَقًا عَلَى اْلمُحْسِنِيْنَ.
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang makin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. al-Baqarah: 236).
Dari ayat tersebut dapat ditangkap makna tersembunyi (isyarat) bahwa pernikahan sah tanpa penentuan jumlah dan jenis mahar yang merupakan hak istri. [25]
c.Dilalah nas atau dilalah ad-dilalah yaitu: [26]
دَلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى تَعْدِيِ الْحُكْمِ اْلمَنْطُوْقِ بِهِ إِلىَ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِيْ عِلَّةٍ يُفْهَمُ كُلَّ عَارِفٍ بِالْلُغَةِ أَنَّهَا مَنَاطُ الْحُكْمِ
“Penunjukan lafal terhadap keterlampauan batas hukum yang tersurat pada sesuatu yang tersirat karena kesamaan illat, di mana orang akan mengetahuinya secara bahasa sebagai manat al-hukmi.”
Salah satu contoh yang dibuat oleh ulama dalam menjelaskan dilalah al-dilalah adalah surat an-Nisa ayat 10 :
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَكُمُ اْليَتمى ظُلْمًاإِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya an mereka akan masukke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS. An-Nisa’: 10).
Secara tersurat ayat tersebut berbicara tentang larangan untuk memakan harta anak yatim dengan zalim. Ulama berpendapat bahwa illat cegahan tersebut adalah kelaliman. Oleh karenanya setiap bentuk kelahiran terhadap harta anak yatim, baik dimakan, dirusak atau dimunahkan dilarang.
d.Dilalah al-iqtida’ yaitu : [27]
دِلاَلَةُ الْكَلاَمِ عَلىَ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ يَتَوَقَّفُ صِدْقَ الْكَلاَمِ أَوْ صِحَّتَهُ شَرْعًا عَلَى تَقْدِيْرِه
“Penunjukkan kalimat terhadapmakna yang tidak disebutkan, di mana kalimat tersebut dapat dimengerti dengan cara memperkirakannya.”
Secara umum dilalah iqtida’ dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: [28]
1)Ditentukan dengan pertimbangan kebenaran kalimat. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Dihilangkan dari umatku, kesalahan, lupa dan karena terpaksa ”
Secara zahir kalimat hadis ini mengatakan akan ditiadakannya baik kekeliruan, lupa maupun keterpaksaan dari umatku. Namun hal ini bertentangan dengan sebuah keniscayaan yang ada. Oleh karenanya hadis tersebut dipahami dengan:
رُفِعَ(إثم) عَنْ أُمَّتي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Dihilangkan (dosa) dari umatkan kesalahan, lupa dan karena terpaksa”
2)Ditentukan dengan pertimbangan keshahihan kalimat berdasarkan akal. Hal ini seperti firman Allah surat Yusuf ayat 82:
وَاسْئَلِ اْلقَرْيَةَ اَّلتِيْ كُنَّا فِيْهَا..
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ.” (Q.S.Yusuf: 82).
Berdasarkan akal tidaklah mungkin jika suatu negeri dapat ditanya. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah penduduk negeri tersebut.
3)Ditentukan dengan pertimbangan kesahihan kalimat secara syar’i. misalnya firman Allah surat an-Nisa’ ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibumu…” (Q.S. an-Nisa’ : 23).
Para ulama menafsirkan pernyataan haram tersebut sebagai keharaman untuk menikahi seorang ibu.
Sedangkan jumhur ulama ushul membagi petunjuk kalimat dalam bentuk ini menjadi dua yaitu al-mantuq (petunjuk teks yang mengacu pada ungkapan eksplisit) dan al-mafhum (petunjuk teks yang mengacu pada makna implisitnya).
a.Dilalah mantuq adalah: [29]
دِلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى مَعْناَهُ الْوَضْعِيْ أَوْ عَلَى جُزْئِهِ
“Penunjukkan lafal terhadap sempurnanya makna baik terhadap keseluruhan makna atau sebagainya.”
Penjelasan lain dikemukakan oleh M. Adib Shalih mengenai dilālah mantuq ini sebagai penunjukkan lafal terhadap hukum yang disebutkan dalam kalimat, baik secara mutabaqat, tadamun maupun iltizam.[30] Contohnya adalah firman Allah surat al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا..
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al-Baqarah: 275).
Dalam ayat tersebut terdapat pernyataan yang jelas mengenai hukum jual beli dan riba.
b.Sedangkan mafhum diartikan sebagai penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafal yang tidak sarih. Dilalah ini diklasifikasikan oleh ulama menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mukhlafah.
1)Mafhum muwafaqah
Wahbah az-Zuhaili mendefinisikannya sebagai : [31]
دِلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ الْمَذْْكُوْرِ لِلْمَسْكُوْتِ عَنْهُ لاِشْتِرَاكِهِمَا فِيْ عِلَّةِ اْلحُكْمِ اْلمَفْهُوْمَةِ
“Penunjukan lafal atas ketetapan hukum yang disebutkan terhadap yang tidak disebutkan, karena keduanya mempunyai illat hukum yang sama-sama dapat dipahami dengan jalan bahasa”
Dalam pembagian Hanafiyah, dilalah dalam pengertian ini merupakan dilalah nas. contonya adalah firman Allah:
وَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ...
“janganlah berkata uff kepada kedua orang tuamu”
Larangan berkata “uff” dalam ayat ini juga menunjukkan pada larangan untuk memukul.
2)Mafhum Mukhalafah
Ialah : [32]
دِلاَلَةُ اْلكَلاَمِ عَلى نَفْيِ الْحُكْمِ الثَّابِت لِلْمذكور عَنِ اْلمَسْكُوْتِ لاِنْتِفَاءِ قَيِّدٍ مِنْ قُيُوْدٍ الْمَنْطُوْقِ
“Penunjukan kalimat untuk meniadakan hukum yang tersurat pada hukum yang tersirat, karena adanya keterkaitan qayyid”
Menurut ulama syafi’iyyah, mafhum mukhlafah dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu : [33]
a.Mafhum laqab
Yang dimaksud mafhum al-laqab adalah makna yang tersembunyi dar lafal yang menunjukan pada gelar. Salah satu contohnya adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w tentang penundaan pembayaran hutang yang berbunyi:
مَطْلُ اْلغَني ُظلْمٌ يَحل عرْضُهُ وَعُقُوْده
“orang kaya yang menunda pembayaran utang adalah zalim, maka halal kehormatan dan sanksi terhadapnya”
Penangguhan hutang dapa dilakukan oleh orang kaya maupun orang miskin, pengagguhan hutang yang dilakukan orang kaya menurut hadis di atas adalah suatu kezaliman. Hal ini berbeda bila dilakukan oleh orang miskin. Pemahaman seperti ini disebut menyimpang (mukhalafah) dari ketentuan umum dalam al-Qur’an yaitu ketidakbolehan berlaku zalim bagi siapapun. Allah S.wt berfirman :
قَََدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ُظلْمًا...
“Dan sesunggunya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman..” (Q.S. Thaha: 111).
b.Mafhum hasr
Yang dimaksud dengan mafhum al-hasr adalah makna tersembunyi dari lafal yang menunjukan batasan (hasr). Misalnya sabda Nabi Muhammad s.a.w
إنمَا اْلأَعْمَالُ بالنيَات...
“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya”
Makna mantuq hadis tersebut menunjukan pada batasan amal yang diniatkan. Sedangkan makna mafhum-nya menunjukan atas ketiadaan amal yang tidak disertai dengan niat.
c.Mafhum Sifah
Yang dimaksud dengan mafhum ash-Shifah adalah makna tersembnyi dari lafal yang menunjukan sifat. Misalnya firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ اْلمُحْصَنتِ فَمْنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيتِكُمُ اْلمُؤْمِنتِ..
“Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..” (Q.S. an-Nisa’ : 25).
Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah keharaman menikahi budak yang tidak beriman (bukan muslimah).
d.Mafhum gayah
Yang dimaksud dengan mafhum gayah adalah makna tersembunyi dari lafal yang menunjukan tujuan (gayah). Misalnya firman Allah:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتى يَتَبَينَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ منَ الْخَيْط الْأَسْوَد منَ اْلفَجْر ثُم أَتم الصيَامَ الَى اْلَليْل..
“..dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajr. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..” (Q.S. al-Baqarah: 187) .
3.Segi luas-sempit cakupan maknanya
Dalam pembahasan ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: [34]
1)Al-Khas
Khas adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satu makna. Adakalanya menunjukkan nama seseorang atau menunjukkan pada al-nas’ seperti kata rajul (orang laki-laki) atau juga menunjukkan pada jenis tertentu seperti al- insan (manusia).
2)Al-‘Am
Lafal ‘am adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan makna-makna tertentu tanpa batas yang mencakup semua satuan-satuannya. Dari sini dapat diketahui bahwa hakikat lafal ‘am yaitu lafal yng terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian. [35]Misalnya firman Allah:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى اْلأَرْضِ جَمْيْعًا..
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29).
3)Al-Musytarak
Yaitu :
لَفْظٌ وُضِعَ لِمَعْنَيَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ بِأَضَاعٍ مُتَعَدَّدَةٍ
“Lafal yang bermakna ganda atau lebih”
Jika ada lafal musytarak antara makna lugawi dan makna istilah syara’, maka wajib mengamalkan makna syara’ dan jika musytarak itu terjadi pada makna yang sama-sama bersifat kebahasaan, maka wajib mengamalkan salah satu diantaranya dengan dalil yang menunjukkan pada kegunaannya.[36] Contohnya Lafal الطلاق secara bahasa berarti tali yang terputus. Sedangkan menurut pengertian syara’ berarti terputusnya tali ikatan suami istri. [37]
4.Segi bentuk untuk menyatakan taklif
Dalam hal ini pembatasan akan dibagi menjadi empat macam yaitu al- haqiqah, al-majasi, ash-sharih dan al-kinayah.
1)Al-haqiqah dan Al-majasi
Al-haqiqah adalah suatu kata yang digunakan menunjukkan kepada pengertian yang asli.[38] Senada dengan pengertian tersebut wahbah az-Zuhaili mendefiniskannya dengan tiap-tiap lafal yang dimaksudkan pada makna yang dibuat sejak awal untuk sesuatu yang telah diketahui. [39]
Sedangkan yang dimaksud dengan al-majazi adalah tiap-tiap lafal yang dimaksudkan pada sesuatu selain makna yang telah dibuat. Hal ini diarenakan adanya ketekaitan atau hubungan khusus antara keduanya. [40]
Dalam redaksi yang sedikit berbeda dapat pula didefiisikan sebagai lafal yang menunjukan pada arti yang dibuat (sejak awal) serta berhubungan dengan qarinah. Dengan dengan demikian, suatu lafal dapat diketahui maksud penggunaannya amat bergantung pada qarinah yang menyertainya. Misalnya ulama berbeda pendapat dalam memahami firman Allah :
وَإنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَر أَوْ جَاءَ أَحَدٌ منَ الْغَائط أَوْ لمَسْتُمُ النسَاءَ..
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan..”(Q.S. an-Nisa’: 6).
Lafal “la mastum” secara majazi adalah jimak (wat’u). di samping itu lafal tersebut berwazan mufa’ala (yang menunjukan perbuatan saling). Oleh karenanya, dalam ayat tersebut terdapat qarinah yang mendorong ulama untuk mengartikan secara majazi, yaitu jimak atau bersetubuh, sebab tidak mungkin yang dimaksud lafal “la masa” dalam ayat tersebut itu bermakna saling menyentuh. [41]
2)Ash-sharih dan al-kinayah
Menurut Abdul Karim Zaidan lafal sarih adalah lafal yang maksudnya jelas karena telah banyak dipergunakan, baik secara hakikat maupun secara majazi. Contohnya, “أنت طالق” kalimat ini adalah secara syar’i adalah jelas menunjukan pada hilangnya suatu pernikahan.
Sedangkan al-kinayah secara bahasa adalah mengatakan sesuatu akan tetapi berkehendak kepada yang lainnya. Sedangkan secara istilah adalah lafal yang sama maksudnya sehingga baru diketahui bila ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya.[42] Misalnya perkataan suami pada istrinya : “I’tadiy” (beriddahlah!) atau pulanglah ke rumah orang tuamu, yang dimaksudkan untuk talak.
Dari keempat pembagian tersebut, ada pula yang mengklasifikasikannya ke dalam bentuk-bentuk yang digunakan untuk menyatakan taklif yang dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu amar dan nahi. Amar diartikan sebagai tuntutan untuk berbuat dari yang lebih tinggi kepada yang rendah. Sedangkan nahi adalah kebalikan dari amar yaitu suatu bentuk larangan.
Selain membicarakan lafal yang berupa wacana kata ataupun kalimat. Para ulama usul fikih juga membicarakan huruful ma’aniy, yaitu kata penghubung yang mempunyai beragam makna. Huruf-huruf tersebut menjadi penting dalam hal istimbat hukum karena dapat memberikan berbagai pengertian terhadap makna nas [43]
Pendekatan secara bayani ini memang sangat penting, karena untuk meng-istinbat-kan suatu hukum dari sumbernya yang berbahasa arab tentu diperlukan kajian kebahasaan yang mendalam. Namun menurut al-Syatibi, yang lebih penting lagi adalah pendekatan melalui pemahaman tujuan dan makna yang menjadi sasaran syar’i dalam menurunkan syariat yang disebut maqasid asy-sya’iyah. [44]
___________________________________________
[1] Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta : UII Press, 2004), 72
[2] Madkur, Muhammad Salam, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo : Dar al-Nahd}ah al-Arabiyyah, 1984), 42
[3] Amir dan Yusdani, Ijtihad .., 73
[4] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2020), 66
[5] Kamali, M. Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 115
[6] Madkur, al-Ijtihad ., 43
[7] Ibid., 116
[8] Mubarok, Metodologi Ijtihad…, 66
[9] Ibid., 67
[10] Miftahul Arifin & Faishal Haq, Ushul Fiqh, Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), 194
[11] Wahbah az-Zuhayliy, Ushul al-Fiqh al Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 321
[12] Mubarok, Metodologi Ijtihad..., 71
[13] Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh..., 326
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah al-Islamiyah),169
[17] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 164
[18] Mubarok, Metodologi Ijtihad…, 64
[19] Effendi, Ushul...,227
[20] Syafi’i, Ilmu Ushul...,166
[21] Effendi, Ushul...228
[22] Wahbah az-Zuhaili, Us}ul al-Fiqh al Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 345
[23] Syafi’i, Ilmu Ushul…, 167
[24] Mubarok, Metodologi Ijtihad..., 76
[25] Ibid., 78
[26] Madkur, al-Ijtihad…,44
[27] Az-Zuhaili, Ushul.,355
[28] Ibid., 356
[29] Madkur : al-Ijtihad…,45
[30] Mubarok, Metodologi Ijtihad,…83
[31] Az-Zuhaili, Us}ul al-Fiqh., 362
[32] Ibid.
[33] Ibid. Lihat pula Mubarok, Metodologi Ijtihad., 87
[34] Zaidan, al-Wajis., 279
[35] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, cet. I, 2004), 130
[36] Zaidan, al-Wajis fi Ushul.,327
[37] Ibid., 328
[38] Rusli, Konsep Ijtihad…, 39
[39] Az-Zuhaili, ushul al-Fiqh., 292
[40] Ibid., 296
[41] Mubarok, Metodologi Ijtihad., 53
[42] Ibid.
[43] Untuk lebih jauh lihat az-Zuhaili, Usul al-Fiqh…, 375
[44] Rusli, Konsep Ijtihad…, 40
Sedangkan secara lebih sempit Muhammad Salam Madkur menjelaskan bahwa yang dimaksud ijtihad bayani adalah : [2]
بَذْلُ اْلجُهْدِ لِلتَّوَصُّلِ اِلَى اْلحُكْمِ اْلمُرَادِ مِنَ النَّصِّ الظَّنِّيِّ الثُّبُوْتِ أَوِ الدَّلاَلَةِ أَوْ هُمَا مَعًا
“Upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai hukum yang dikehendaki dari teks nas} yang z}anni, baik secara wurud maupun petunjuknya atau kedua-keduanya.”
Metode secara literal ini dapat dibagi ke dalam empat bagian pembahasan. Pertama dari segi jelas tidaknya, kedua segi dalalah-nya, ketiga dari luas-sempit cakupan maknanya dan keempat dari segi bentuk-bentuk yang digunakannya untuk menyatakan taklif. [3]
1.Segi jelas tidaknya lafal (بِاعْتِبَارِ اْللَفْظِ لِلْمَعْنَى)
Dilihat dari segi petunjuk lafal atas maknanya dalam hal kejelasan dan tidaknya maka lafal dapat dibagi menjadi dua, yaitu lafal yang petunjuk maknanya jelas (wad}ih ad-dalalah) dan ada pula yang tidak jelas (khafi ad-dalalah / gairi wadih ad-dalalah).
a.Wadih al-Dalalah
Yang dimaksud dengan Wadih ad-dalalah adalah: [4]
مَا دَلَّ عَلَى مَعْناَهُ بِصِيْغَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى أَمْرٍ خَارِجٍ
“Lafal yang menunjukkan pada maknanya dari segi bentuknya tanpa mencari penjelasan dari luar”
Lafal-lafal yang jelas ini membawa konsep untuk bisa dimengerti tanpa perlu adanya interpretasi. Ketentuan yang dikemukakan dengan menggunakan kata-kata yang jelas menjadi dasar dari kewajiban tanpa perlu adanya takwil. [5]
Menurut ulama Hanafiyah lafal yang petunjuk maknanya jelas terbagi menjadi empat, yaitu zahir, nas, mufassar dan muhkam. Dalam hal ini kejelasan dalalah-nya adalah menurut tertib urutannya dari belakang, dengan kata lain lafal muhkam menjadi lafal yang paling jelas dalalah-nya. Sedangkan manfaat dari perbedaan ini akan tampak ketika terdapat kontradiksi.
1)Lafal zahir
Muhammad Salam Madkur memberikan pengertian lafal zahir sebagai : [6]
اَللفْظُ بِاعْتِبَارِ دَلاَلَتِهِ عَلىَ مَعْنَى مُتَبَادُرٍ مِنْهُ وَلَيْسَ مَقْصُوْدًا أَصَالَةً مَعَ احْتِمَالِهِ التَّفْسِيْرَ وَالتَّأْوِيْلَ وَقُبُوْلِهِ النَّسْخَ فِيْ عَهْدِ الرِّسَالَةِ
“Lafal yang maknanya dapat diperoleh tanpa pikir panjang tetapi tidak dimaksudkan sebagai makna pokok, ia dapat menerima tafsir, ta’wil dan nasakh pada zaman risalah”.
Atau bila menurut penjelasan M. Hashim Kamali adalah kata yang mempunyai makna yang jelas atau menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar tetapi terbuka bagi adanya takwil, terutama karena makna yang dibawanya tidak sesuai dengan konteks di mana kata itu terdapat. Ia merupakan kata yang mempunyai makna harfiyah/makna asli dari dirinya yang membuka kemungkinan bagi interpretasi yang berbeda. Lafal ini wajib diamalkan selama tidak ada dalil yang menafsirkan, mentakwil, atau me-nasakh-nya. [7]
Contoh dari lafal zahir adalah :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَقْسِطُوْا فِي اْليَتَامَى فاَنْكِحُوْا مَا طاَبَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُباَعَ. . .
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat… ” (QS. Al-Nisa’: 3)
Dalam ayat tersebut terdapat dua ketentuan: Pertama, perintah untuk mengawini wanita-wanita yang disukai dan kedua adalah perintah untuk membatasi jumlah istri dalam satu periode sebanyak empat orang. Perintah yang pertama bukanlah maksud pokok, ia adalah maksud taba>’iyyah (ikutan). Sedangkan maksud pokoknya adalah pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawin dalam satu periode. [8]
2)Lafal nas
Yang kedua adalah lafal nas yaitu lafal yang menunjukkan makna pokok dalam konteks pembicaraan. Ia dapat ditafsir dan ditakwilkan serta dapat di nasakh pada zaman risalah.[9] Contohnya firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتِ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍقلى
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. ” (QS. Al-Baqarah : 228)
Dalam ayat tersebut terdapat lafal al-mutallaqat (wanita-wanita yang dicerai oleh suaminya). Ia termasuk lafal ‘am yang tetap akan keumumannya selama tidak ada dalil yang membatasinya. Lafal al-mutallaqat ini dibatasi oleh surat at-Talaq ayat 4 yang menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan dan surat al-Baqarah ayat 234 yang menyatakan bahwa ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.
3)Lafal mufassar
Secara sederhana lafal mufassar dapat diartikan sebagai [10]
مَا دَلَّ بِنَفْسِهِ عَلَى مَعْنَاهُ اْلمُفَصِّلُ تَفْصِيْلاً لاَ يَبْقَى مَعَهُ احْتِمَالِ لِلتَّأْوِيْلِ
“Nas yang dengan sendirinya dapat menunjukkan pada artinya yang terinci dan tidak ada kemungkinan takwil baginya”
Sebagian ulama seperti Wahbah az-Zuhaili menambahkan keterangan bahwasanya lafal mufassar walaupun tidak menerima tafsir atau takwil tetapi masih dapat menerima nasakh di zaman risalah. [11]
Lafal Mufassar dapat dibedakan menjadi dua yaitu lafal yang mufassar karena zatnya, yaitu lafal yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain. Kedua adalah lafal yang mufassar karena yang lain, yaitu lafal yang memerlukan penjelasan dari ayat atau hadis yang lain. Misalnya adalah surah an-Nisa’ ayat 29 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...” (Q.S. an-Nisa’: 29).
Ada dua perintah yang dapat ditangkap dalam ayat ini. Pertama, mencegah untuk memakan harta dengan cara yang batil dan yang kedua perintah untuk melakukan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling merelakan. Kebolehan atas perniagaan yang berdasarkan saling keridaan termasuk mufassar. Ia tidak dapat ditafsirkan dan ditakwilkan. Akan tetapi, ia dapat dibatasi keumumannya oleh dalil lain yaitu berdasarkan sabda Nabi Muhammad s.a.w tentang perniagaan garar.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَارِ
“Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang dilakukan dengan cara yang garar”
4)Lafal Muhkam
Sedang lafal muhkam dapat diartikan dengan lafal yang dengan sendirinya menunjukkan pada makna yang jelas dan dalam hal ini tidak menerima adanya takwil dan tafsir dan juga nasakh, baik di zaman kenabian atau sesudahnya. Di antara ayat yang dijadikan contoh oleh ulama dalam memperjelas lafal muhkam adalah firman Allah surah al-Isra’ ayat 23:
وَقَضى رَبكَ أَلا تَعْبُدُوْا الا ايَاهُ وَباْلوَالدَيْن احْسَاناً
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Q.S. al-Isra’ : 23).
Perintah untuk menyembah hanya kepada Allah dan perintah berbuat baik kepada ibu – bapak merupakan lafal muhkam. Ia tidak dapat ditafsirkan atau ditakwilkan dengan arti lain, dan juga tidak di-nasakh pada zaman kenabian. [12]
Sedangkan menurut ulama ushuliyyin lafal yang demikian hanya dapat dibagi atas dua bentuk yaitu:
1)Lafal zahir
Lafal zahir dimaksudkan dengan sesuatu (lafal) yang menunjukkan pada maknanya dengan penunjukkan yang bersifat zanni, dan dalam hal ini dapat menerima takwil. Munculnya penunjukkan itu bisa jadi dari tatanan kebahasaan seperti penunjukan lafal ‘am atas segala bentuk mufradnya atau dalam segi pengertian seperti penunjukkan kata shalat menurut pengertian syara’. [13] Dalam pengertian ini maka zahir mencakup pada pengertian lafal zahir dan nas dalam pandangan Hanafi.
2)Lafal nas
Lafal nas adalah lafal yang tidak menerima takwil atau lafal itu menunjukkan pada suatu makna dengan penunjukan yang qat’i. [14] Dalam pengertian yang demikian maka akan mencakup pengertian dari lafal mufassar dalam pandangan ulama Hanafiyah.
Adapun muhkam dalam pandangan jumhur terasimilasi pada lafal nas, dan zahir, di mana lafal tersebut menunjukan pada maknanya dengan penunjukan yang jelas, baik penunjukannya secara zanni atau qat’i. [15]
b.Khafi ad-dalalah
Khafi ad-dalalah adalah : [16]
مَا لاَ يَدُلُّ عَلىَ اْلمرُاَدِ مِنْهُ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ بَلْ يَتَوَقَّفُ فَهْمَ اْلمُرَادِ مِنْهُ أَمْرُ خَارِجِهِ
“Lafal yang tidak menunjukkan pada makna sebenarnya, akan tetapi menunjukkan pada pengertian sesuatu diluarnya ”
Seperti pada pembagian wadih ad-dalalah, ulama Hanafiyah membagi khafi ad-dalalah menjadi empat bagian yaitu al-khafi, al-musykil, al-mujmal dan al-mutasyabih.
1)al-Khafi
Al-khafi dapat diartikan sebagai:
مَا كَانَ ظَاهِرُ الدَّلاَلَةِ عَلَى مَعْناَهُ لَكِنْ عَرَضَ لَهُ شَيْئٌ مِنَ الْخَفَاءِ بِسَبَبِ لَفْظِهِ
“Lafal yang jelas maknanya tetapi karena sebab lain maka ia menjadi samar”
Tegasnya, lafal zahir bisa menjadi khafi bila diterapkan pada masalah lain di mana masalah tersebut tidak sama persis dengan apa yang terdapat pada kata itu. [17] Sebagai contohnya adalah pengertian as-sariq pada surat al-Maidah ayat 38:
اَلسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
Lafal sariq dalam ayat di atas sudah jelas yaitu orang yang mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanan dengan cara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi ia menjadi samar apabila dihubungkan dengan pencopetan, korupsi dan pencurian kain kafan. [18]
2)Al-Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertianya dan ketidakjelasan itu disebabkan kata tersebut dipergunakan untuk beberapa pengertian yang berbeda, sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar.[19] Misalnya kata quru’ dalam surah al-Baqarah ayat 228 :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”
Kata quru’ dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai masa suci atau masa haid, di mana pengambilan kesimpulan akan makna tersebut didasarkan pada qarinah (petunjuk) atau dalil dari luar yang berbeda pula.
3)Al-Mujmal
Lafal mujmal yaitu lafal yang mengandung makna secara global yang tidak bisa dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal itu sendiri (syari’). [20] Misalnya kata shalat, zakat dan haji.
4)Lafal Mutasyabbih
Lafal mutasyabbih yaitu lafal yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syari’ sehingga pihak yang mengetahui maksudnya hanyalah pembuat syariat itu sendiri. [21]
Berbeda dengan ulama Hanafiyah yang membagi segi ini menjadi empat bagian, maka ulama mutakallimin hanya membaginya menjadi satu bagian saja, yaitu mujmal atau mutasyabih. Dalam hal ini mujmal merupakan bagian dari pada mutasyabbih.[22] Selain itu mereka juga berbeda dalam memberikan definisi tentang lafal ini, namun secara umum dapat dikatakan sebagai lafal yang menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas. [23]
2.Segi Dalalah (بِاعْتِبَارِ كَيْفِيَةِ دَلاَلَةِ اْللَفْظِ عَلَى اْلمَعْنَى)
Ulama Hanafiyah membedakan penunjukan lafal terhadap maknanya menjadi empat, yaitu dilalah al-‘ibarat, dilalah al-isyarah, dilalah an-nas dan dilalah al-iqtida’.
a.Dilalah al-‘ibarat yaitu penunjukan kata terhadap makna secara tidak pikir di mana maksud pokok atau tambahannya dapat diketahui berdasarkan susunan kalimatnya. Atau dalam pengertian yang lebih ringkas adalah mengamalkan zahir lafal dari sisi siyaq al-kalam. [24] Misalnya firman Allah surah al-Nisa’ ayat 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَقْسِطُوْا فِي اْليَتمى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنى وَثُلثَ وَرُبعَصلى فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْج ذَا لِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُوْلُوْا. . .
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. an-Nisa’: 3).
Dari segi susunan kalimat, maksud pokok dalam ayat tersebut adalah kewajiban mengawini seorang istri saja bila khawatir tidak mampu berlaku adil.
b.Dilalah al-isyarat secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu makna yang didapatkan berdasarkan penelitian yang mendalam. Ia tidak termasuk makna yang tesurat, tetapi yang tersirat. Misalnya firman Allah surat al-Baqarah ayat 236:
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةًج وَمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى اْلمُوْسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى اْلمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَعًا بِاْلمَعْرُوْفِصلى حَقًا عَلَى اْلمُحْسِنِيْنَ.
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang makin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. al-Baqarah: 236).
Dari ayat tersebut dapat ditangkap makna tersembunyi (isyarat) bahwa pernikahan sah tanpa penentuan jumlah dan jenis mahar yang merupakan hak istri. [25]
c.Dilalah nas atau dilalah ad-dilalah yaitu: [26]
دَلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى تَعْدِيِ الْحُكْمِ اْلمَنْطُوْقِ بِهِ إِلىَ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِيْ عِلَّةٍ يُفْهَمُ كُلَّ عَارِفٍ بِالْلُغَةِ أَنَّهَا مَنَاطُ الْحُكْمِ
“Penunjukan lafal terhadap keterlampauan batas hukum yang tersurat pada sesuatu yang tersirat karena kesamaan illat, di mana orang akan mengetahuinya secara bahasa sebagai manat al-hukmi.”
Salah satu contoh yang dibuat oleh ulama dalam menjelaskan dilalah al-dilalah adalah surat an-Nisa ayat 10 :
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَكُمُ اْليَتمى ظُلْمًاإِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya an mereka akan masukke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS. An-Nisa’: 10).
Secara tersurat ayat tersebut berbicara tentang larangan untuk memakan harta anak yatim dengan zalim. Ulama berpendapat bahwa illat cegahan tersebut adalah kelaliman. Oleh karenanya setiap bentuk kelahiran terhadap harta anak yatim, baik dimakan, dirusak atau dimunahkan dilarang.
d.Dilalah al-iqtida’ yaitu : [27]
دِلاَلَةُ الْكَلاَمِ عَلىَ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ يَتَوَقَّفُ صِدْقَ الْكَلاَمِ أَوْ صِحَّتَهُ شَرْعًا عَلَى تَقْدِيْرِه
“Penunjukkan kalimat terhadapmakna yang tidak disebutkan, di mana kalimat tersebut dapat dimengerti dengan cara memperkirakannya.”
Secara umum dilalah iqtida’ dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: [28]
1)Ditentukan dengan pertimbangan kebenaran kalimat. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Dihilangkan dari umatku, kesalahan, lupa dan karena terpaksa ”
Secara zahir kalimat hadis ini mengatakan akan ditiadakannya baik kekeliruan, lupa maupun keterpaksaan dari umatku. Namun hal ini bertentangan dengan sebuah keniscayaan yang ada. Oleh karenanya hadis tersebut dipahami dengan:
رُفِعَ(إثم) عَنْ أُمَّتي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَاسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Dihilangkan (dosa) dari umatkan kesalahan, lupa dan karena terpaksa”
2)Ditentukan dengan pertimbangan keshahihan kalimat berdasarkan akal. Hal ini seperti firman Allah surat Yusuf ayat 82:
وَاسْئَلِ اْلقَرْيَةَ اَّلتِيْ كُنَّا فِيْهَا..
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ.” (Q.S.Yusuf: 82).
Berdasarkan akal tidaklah mungkin jika suatu negeri dapat ditanya. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah penduduk negeri tersebut.
3)Ditentukan dengan pertimbangan kesahihan kalimat secara syar’i. misalnya firman Allah surat an-Nisa’ ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibumu…” (Q.S. an-Nisa’ : 23).
Para ulama menafsirkan pernyataan haram tersebut sebagai keharaman untuk menikahi seorang ibu.
Sedangkan jumhur ulama ushul membagi petunjuk kalimat dalam bentuk ini menjadi dua yaitu al-mantuq (petunjuk teks yang mengacu pada ungkapan eksplisit) dan al-mafhum (petunjuk teks yang mengacu pada makna implisitnya).
a.Dilalah mantuq adalah: [29]
دِلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى مَعْناَهُ الْوَضْعِيْ أَوْ عَلَى جُزْئِهِ
“Penunjukkan lafal terhadap sempurnanya makna baik terhadap keseluruhan makna atau sebagainya.”
Penjelasan lain dikemukakan oleh M. Adib Shalih mengenai dilālah mantuq ini sebagai penunjukkan lafal terhadap hukum yang disebutkan dalam kalimat, baik secara mutabaqat, tadamun maupun iltizam.[30] Contohnya adalah firman Allah surat al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا..
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al-Baqarah: 275).
Dalam ayat tersebut terdapat pernyataan yang jelas mengenai hukum jual beli dan riba.
b.Sedangkan mafhum diartikan sebagai penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafal yang tidak sarih. Dilalah ini diklasifikasikan oleh ulama menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mukhlafah.
1)Mafhum muwafaqah
Wahbah az-Zuhaili mendefinisikannya sebagai : [31]
دِلاَلَةُ الْلَفْظِ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ الْمَذْْكُوْرِ لِلْمَسْكُوْتِ عَنْهُ لاِشْتِرَاكِهِمَا فِيْ عِلَّةِ اْلحُكْمِ اْلمَفْهُوْمَةِ
“Penunjukan lafal atas ketetapan hukum yang disebutkan terhadap yang tidak disebutkan, karena keduanya mempunyai illat hukum yang sama-sama dapat dipahami dengan jalan bahasa”
Dalam pembagian Hanafiyah, dilalah dalam pengertian ini merupakan dilalah nas. contonya adalah firman Allah:
وَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ...
“janganlah berkata uff kepada kedua orang tuamu”
Larangan berkata “uff” dalam ayat ini juga menunjukkan pada larangan untuk memukul.
2)Mafhum Mukhalafah
Ialah : [32]
دِلاَلَةُ اْلكَلاَمِ عَلى نَفْيِ الْحُكْمِ الثَّابِت لِلْمذكور عَنِ اْلمَسْكُوْتِ لاِنْتِفَاءِ قَيِّدٍ مِنْ قُيُوْدٍ الْمَنْطُوْقِ
“Penunjukan kalimat untuk meniadakan hukum yang tersurat pada hukum yang tersirat, karena adanya keterkaitan qayyid”
Menurut ulama syafi’iyyah, mafhum mukhlafah dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu : [33]
a.Mafhum laqab
Yang dimaksud mafhum al-laqab adalah makna yang tersembunyi dar lafal yang menunjukan pada gelar. Salah satu contohnya adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w tentang penundaan pembayaran hutang yang berbunyi:
مَطْلُ اْلغَني ُظلْمٌ يَحل عرْضُهُ وَعُقُوْده
“orang kaya yang menunda pembayaran utang adalah zalim, maka halal kehormatan dan sanksi terhadapnya”
Penangguhan hutang dapa dilakukan oleh orang kaya maupun orang miskin, pengagguhan hutang yang dilakukan orang kaya menurut hadis di atas adalah suatu kezaliman. Hal ini berbeda bila dilakukan oleh orang miskin. Pemahaman seperti ini disebut menyimpang (mukhalafah) dari ketentuan umum dalam al-Qur’an yaitu ketidakbolehan berlaku zalim bagi siapapun. Allah S.wt berfirman :
قَََدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ُظلْمًا...
“Dan sesunggunya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman..” (Q.S. Thaha: 111).
b.Mafhum hasr
Yang dimaksud dengan mafhum al-hasr adalah makna tersembunyi dari lafal yang menunjukan batasan (hasr). Misalnya sabda Nabi Muhammad s.a.w
إنمَا اْلأَعْمَالُ بالنيَات...
“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya”
Makna mantuq hadis tersebut menunjukan pada batasan amal yang diniatkan. Sedangkan makna mafhum-nya menunjukan atas ketiadaan amal yang tidak disertai dengan niat.
c.Mafhum Sifah
Yang dimaksud dengan mafhum ash-Shifah adalah makna tersembnyi dari lafal yang menunjukan sifat. Misalnya firman Allah :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ اْلمُحْصَنتِ فَمْنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيتِكُمُ اْلمُؤْمِنتِ..
“Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..” (Q.S. an-Nisa’ : 25).
Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah keharaman menikahi budak yang tidak beriman (bukan muslimah).
d.Mafhum gayah
Yang dimaksud dengan mafhum gayah adalah makna tersembunyi dari lafal yang menunjukan tujuan (gayah). Misalnya firman Allah:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتى يَتَبَينَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ منَ الْخَيْط الْأَسْوَد منَ اْلفَجْر ثُم أَتم الصيَامَ الَى اْلَليْل..
“..dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajr. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..” (Q.S. al-Baqarah: 187) .
3.Segi luas-sempit cakupan maknanya
Dalam pembahasan ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: [34]
1)Al-Khas
Khas adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satu makna. Adakalanya menunjukkan nama seseorang atau menunjukkan pada al-nas’ seperti kata rajul (orang laki-laki) atau juga menunjukkan pada jenis tertentu seperti al- insan (manusia).
2)Al-‘Am
Lafal ‘am adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan makna-makna tertentu tanpa batas yang mencakup semua satuan-satuannya. Dari sini dapat diketahui bahwa hakikat lafal ‘am yaitu lafal yng terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian. [35]Misalnya firman Allah:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى اْلأَرْضِ جَمْيْعًا..
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29).
3)Al-Musytarak
Yaitu :
لَفْظٌ وُضِعَ لِمَعْنَيَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ بِأَضَاعٍ مُتَعَدَّدَةٍ
“Lafal yang bermakna ganda atau lebih”
Jika ada lafal musytarak antara makna lugawi dan makna istilah syara’, maka wajib mengamalkan makna syara’ dan jika musytarak itu terjadi pada makna yang sama-sama bersifat kebahasaan, maka wajib mengamalkan salah satu diantaranya dengan dalil yang menunjukkan pada kegunaannya.[36] Contohnya Lafal الطلاق secara bahasa berarti tali yang terputus. Sedangkan menurut pengertian syara’ berarti terputusnya tali ikatan suami istri. [37]
4.Segi bentuk untuk menyatakan taklif
Dalam hal ini pembatasan akan dibagi menjadi empat macam yaitu al- haqiqah, al-majasi, ash-sharih dan al-kinayah.
1)Al-haqiqah dan Al-majasi
Al-haqiqah adalah suatu kata yang digunakan menunjukkan kepada pengertian yang asli.[38] Senada dengan pengertian tersebut wahbah az-Zuhaili mendefiniskannya dengan tiap-tiap lafal yang dimaksudkan pada makna yang dibuat sejak awal untuk sesuatu yang telah diketahui. [39]
Sedangkan yang dimaksud dengan al-majazi adalah tiap-tiap lafal yang dimaksudkan pada sesuatu selain makna yang telah dibuat. Hal ini diarenakan adanya ketekaitan atau hubungan khusus antara keduanya. [40]
Dalam redaksi yang sedikit berbeda dapat pula didefiisikan sebagai lafal yang menunjukan pada arti yang dibuat (sejak awal) serta berhubungan dengan qarinah. Dengan dengan demikian, suatu lafal dapat diketahui maksud penggunaannya amat bergantung pada qarinah yang menyertainya. Misalnya ulama berbeda pendapat dalam memahami firman Allah :
وَإنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَر أَوْ جَاءَ أَحَدٌ منَ الْغَائط أَوْ لمَسْتُمُ النسَاءَ..
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan..”(Q.S. an-Nisa’: 6).
Lafal “la mastum” secara majazi adalah jimak (wat’u). di samping itu lafal tersebut berwazan mufa’ala (yang menunjukan perbuatan saling). Oleh karenanya, dalam ayat tersebut terdapat qarinah yang mendorong ulama untuk mengartikan secara majazi, yaitu jimak atau bersetubuh, sebab tidak mungkin yang dimaksud lafal “la masa” dalam ayat tersebut itu bermakna saling menyentuh. [41]
2)Ash-sharih dan al-kinayah
Menurut Abdul Karim Zaidan lafal sarih adalah lafal yang maksudnya jelas karena telah banyak dipergunakan, baik secara hakikat maupun secara majazi. Contohnya, “أنت طالق” kalimat ini adalah secara syar’i adalah jelas menunjukan pada hilangnya suatu pernikahan.
Sedangkan al-kinayah secara bahasa adalah mengatakan sesuatu akan tetapi berkehendak kepada yang lainnya. Sedangkan secara istilah adalah lafal yang sama maksudnya sehingga baru diketahui bila ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya.[42] Misalnya perkataan suami pada istrinya : “I’tadiy” (beriddahlah!) atau pulanglah ke rumah orang tuamu, yang dimaksudkan untuk talak.
Dari keempat pembagian tersebut, ada pula yang mengklasifikasikannya ke dalam bentuk-bentuk yang digunakan untuk menyatakan taklif yang dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu amar dan nahi. Amar diartikan sebagai tuntutan untuk berbuat dari yang lebih tinggi kepada yang rendah. Sedangkan nahi adalah kebalikan dari amar yaitu suatu bentuk larangan.
Selain membicarakan lafal yang berupa wacana kata ataupun kalimat. Para ulama usul fikih juga membicarakan huruful ma’aniy, yaitu kata penghubung yang mempunyai beragam makna. Huruf-huruf tersebut menjadi penting dalam hal istimbat hukum karena dapat memberikan berbagai pengertian terhadap makna nas [43]
Pendekatan secara bayani ini memang sangat penting, karena untuk meng-istinbat-kan suatu hukum dari sumbernya yang berbahasa arab tentu diperlukan kajian kebahasaan yang mendalam. Namun menurut al-Syatibi, yang lebih penting lagi adalah pendekatan melalui pemahaman tujuan dan makna yang menjadi sasaran syar’i dalam menurunkan syariat yang disebut maqasid asy-sya’iyah. [44]
___________________________________________
[1] Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta : UII Press, 2004), 72
[2] Madkur, Muhammad Salam, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo : Dar al-Nahd}ah al-Arabiyyah, 1984), 42
[3] Amir dan Yusdani, Ijtihad .., 73
[4] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2020), 66
[5] Kamali, M. Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 115
[6] Madkur, al-Ijtihad ., 43
[7] Ibid., 116
[8] Mubarok, Metodologi Ijtihad…, 66
[9] Ibid., 67
[10] Miftahul Arifin & Faishal Haq, Ushul Fiqh, Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), 194
[11] Wahbah az-Zuhayliy, Ushul al-Fiqh al Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 321
[12] Mubarok, Metodologi Ijtihad..., 71
[13] Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh..., 326
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah al-Islamiyah),169
[17] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 164
[18] Mubarok, Metodologi Ijtihad…, 64
[19] Effendi, Ushul...,227
[20] Syafi’i, Ilmu Ushul...,166
[21] Effendi, Ushul...228
[22] Wahbah az-Zuhaili, Us}ul al-Fiqh al Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 345
[23] Syafi’i, Ilmu Ushul…, 167
[24] Mubarok, Metodologi Ijtihad..., 76
[25] Ibid., 78
[26] Madkur, al-Ijtihad…,44
[27] Az-Zuhaili, Ushul.,355
[28] Ibid., 356
[29] Madkur : al-Ijtihad…,45
[30] Mubarok, Metodologi Ijtihad,…83
[31] Az-Zuhaili, Us}ul al-Fiqh., 362
[32] Ibid.
[33] Ibid. Lihat pula Mubarok, Metodologi Ijtihad., 87
[34] Zaidan, al-Wajis., 279
[35] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, cet. I, 2004), 130
[36] Zaidan, al-Wajis fi Ushul.,327
[37] Ibid., 328
[38] Rusli, Konsep Ijtihad…, 39
[39] Az-Zuhaili, ushul al-Fiqh., 292
[40] Ibid., 296
[41] Mubarok, Metodologi Ijtihad., 53
[42] Ibid.
[43] Untuk lebih jauh lihat az-Zuhaili, Usul al-Fiqh…, 375
[44] Rusli, Konsep Ijtihad…, 40
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/07/m8daxd-inilah-5-keutamaan-sedekah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH
Achmad Satori Ismail
Sedekah memiliki sejumlah keutamaan dan keistimewaan. Dalam surah at-Taubah ([9]: 103), sedekah bertujuan untuk menyucikan harta dan diri muzaki agar menjadi penenteram batin mereka. Dalam sejumlah hadis, Rasulullah SAW menyatakan, sedekah itu merupakan bukti keimanan seseorang dan mereka yang bersedekah akan memperoleh pahala yang besar di sisi Allah SWT (HR al-Baihaqi).
Di antara keutamaan sedekah, antara lain, pertama, orang bersedekah berhak mendapat rahmat Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Sedekah akan menjadi naungan di akhirat saat tidak ada naungan, kecuali naungan Allah. “Sesungguhnya, sedekah itu memadamkan panasnya kubur dan hanyalah seorang Mukmin yang mendapatkan naungan pada hari kiamat nanti dengan sedekahnya.” (HR Thabrani dan Baihaqi).
Kedua, sedekah memadamkan murka Ilahi. “Sedekah rahasia (tersembunyi) itu memadamkan amarah Ilahi.” (HR Thabrani dan Ibnu Asakir). Ketiga, sedekah menolak mati dalam keadaan suul khatimah (akhir yang buruk). “Akhlak buruk adalah kejelekan, kuat ingatan adalah mengembangkan, dan sedekah menolak mati suul khatimah.” (HR al- Baihaqi).
Keempat, sedekah menjadi sebab disembuhkannya penyakit. “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, bentengilah hartamu dengan zakat, dan sesungguhnya zakat itu menolak peristiwa mengerikan dan penyakit.” (HR Ad-Dailami dari Ibnu Umar).
Kelima, sedekah itu akan mendapatkan keberkahan dalam hidup dan tambahan rezeki, “Barang siapa menafkahkan hartanya maka akan diberi keberkahan darinya.” Dalam hadis lain disebutkan, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan tidaklah pemberian maaf itu kecuali ditambah kemuliaan oleh Allah dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah, kecuali Dia akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).
Ramadhan adalah bulan termulia dan utama. Karena itu, bersedekah di bulan ini akan makin berlipat pahala dan keutamaannya. “Sedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR At-Turmudzi dari Anas).
Di antara keutamaan sedekah pada Ramadhan, antara lain, pertama, Allah SWT menebar rahmat dan ampunan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang dermawan pada fakir miskin maka Allah akan membalasnya dengan kedermawanan-Nya.
Kedua, berkumpulnya puasa dan sedekah akan memperoleh balasan surga. “Sesungguhnya, di surga terdapat ruangan-ruangan yang di dalamnya bisa dilihat dari luar dan luarnya bisa dilihat dari dalam. Ditanyakan kepada beliau, untuk siapakah ruangan-ruangan itu? Rasulullah menjawab, ‘Ruangan itu diperuntukkan bagi orang yang bicaranya baik, memberi makanan, selalu berpuasa, dan shalat malam saat orang-orang tertidur.’” (HR Ibnu Khuzaimah).
Ketiga, puasa dan sedekah adalah ibadah yang paling hebat dalam menghapuskan dosa dan menjauhkan kita dari neraka. “Sedekah itu menghapuskan dosa seperti air memadamkan api.” (HR At-Tirmidzi). Sedangkan, puasa membersihkan dosa dan membakarnya. Keempat, sedekah menambah solidaritas sosial antara anggota masyarakat.
Demikian hebatnya keutamaan Ramadhan. Sudah seharusnya kita mempergunakan momentum mulia ini untuk meningkatkan kepedulian kita kepada fakir miskin dan orang-orang tertindas.
Sedekah memiliki sejumlah keutamaan dan keistimewaan. Dalam surah at-Taubah ([9]: 103), sedekah bertujuan untuk menyucikan harta dan diri muzaki agar menjadi penenteram batin mereka. Dalam sejumlah hadis, Rasulullah SAW menyatakan, sedekah itu merupakan bukti keimanan seseorang dan mereka yang bersedekah akan memperoleh pahala yang besar di sisi Allah SWT (HR al-Baihaqi).
Di antara keutamaan sedekah, antara lain, pertama, orang bersedekah berhak mendapat rahmat Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Sedekah akan menjadi naungan di akhirat saat tidak ada naungan, kecuali naungan Allah. “Sesungguhnya, sedekah itu memadamkan panasnya kubur dan hanyalah seorang Mukmin yang mendapatkan naungan pada hari kiamat nanti dengan sedekahnya.” (HR Thabrani dan Baihaqi).
Kedua, sedekah memadamkan murka Ilahi. “Sedekah rahasia (tersembunyi) itu memadamkan amarah Ilahi.” (HR Thabrani dan Ibnu Asakir). Ketiga, sedekah menolak mati dalam keadaan suul khatimah (akhir yang buruk). “Akhlak buruk adalah kejelekan, kuat ingatan adalah mengembangkan, dan sedekah menolak mati suul khatimah.” (HR al- Baihaqi).
Keempat, sedekah menjadi sebab disembuhkannya penyakit. “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, bentengilah hartamu dengan zakat, dan sesungguhnya zakat itu menolak peristiwa mengerikan dan penyakit.” (HR Ad-Dailami dari Ibnu Umar).
Kelima, sedekah itu akan mendapatkan keberkahan dalam hidup dan tambahan rezeki, “Barang siapa menafkahkan hartanya maka akan diberi keberkahan darinya.” Dalam hadis lain disebutkan, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan tidaklah pemberian maaf itu kecuali ditambah kemuliaan oleh Allah dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah, kecuali Dia akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).
Ramadhan adalah bulan termulia dan utama. Karena itu, bersedekah di bulan ini akan makin berlipat pahala dan keutamaannya. “Sedekah paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR At-Turmudzi dari Anas).
Di antara keutamaan sedekah pada Ramadhan, antara lain, pertama, Allah SWT menebar rahmat dan ampunan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang dermawan pada fakir miskin maka Allah akan membalasnya dengan kedermawanan-Nya.
Kedua, berkumpulnya puasa dan sedekah akan memperoleh balasan surga. “Sesungguhnya, di surga terdapat ruangan-ruangan yang di dalamnya bisa dilihat dari luar dan luarnya bisa dilihat dari dalam. Ditanyakan kepada beliau, untuk siapakah ruangan-ruangan itu? Rasulullah menjawab, ‘Ruangan itu diperuntukkan bagi orang yang bicaranya baik, memberi makanan, selalu berpuasa, dan shalat malam saat orang-orang tertidur.’” (HR Ibnu Khuzaimah).
Ketiga, puasa dan sedekah adalah ibadah yang paling hebat dalam menghapuskan dosa dan menjauhkan kita dari neraka. “Sedekah itu menghapuskan dosa seperti air memadamkan api.” (HR At-Tirmidzi). Sedangkan, puasa membersihkan dosa dan membakarnya. Keempat, sedekah menambah solidaritas sosial antara anggota masyarakat.
Demikian hebatnya keutamaan Ramadhan. Sudah seharusnya kita mempergunakan momentum mulia ini untuk meningkatkan kepedulian kita kepada fakir miskin dan orang-orang tertindas.
Redaktur: Heri Ruslan
13.916 reads
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=570:konsep-makna-menurut-ulama-ushul-&catid=1:fikih-dan-syariah&Itemid=101
Konsep Makna Menurut Ulama Ushul
Monday, 08
November 2010 01:54 Artikel
Oleh : Abdul Mujib Johar
A. Pendahuluan
Setiap individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan
melaksanakan hukum-hukumnya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasululloh SAW tidak
mudah memahami hukum-hukum dalam Al-Quran. Oleh karena itu diperlukan suatu
kaidah metode penyimpulan hukum. Di antaranya adalah kaidah bahasa[1]. Kaidah bahasa
yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi dalam
pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah.[2] Kaidah bahasa
dimaksudkan untuk mengetahui makna[3] teks guna
meraih maksud teks tersebut. Yang dimaksud teks disini adalah Al Quran dan
Hadits. Berdasarkan tingkat validitas dan sifat mengikatnya sumber makna dibagi
menjadi tiga, pertama, yang sudah jelas otentisitasnya tak diragukan lagi
kebenaran sumbernya maupun makna dan maksudnya قطعي الثبوت
قطعي الدلالة yaitu Al Quran kalamullah, kedua, kahbar yang sudah
dipastikan kebenaran sumbernya namun belum bisa dipastikan makna dan maksud
yang dikandungnyaقطعية الثبوت ظنية الدلالة contohnya adalah ayat-ayat
Al Quran yang mutasyabihaat dan khabar mutawatir yang bermakna ganda, dan
ketiga adalah khabar yang bukan hanya sumbernya masih dipersoalkan tapi
maksudnya juga masih diperdebatkan ظنية الثبوت
ظنية الدلالة. Secara epistemologis makna yang sudah jelas
otentisitas dan signifikansi lafadnya bersifat sah mengikat dan tsabit. [4]Adapun selain
dari yang pertama terbuka pintu ijtihad untuk menafsirkannya.
Pokok bahasan kaedah bahasa adalah lafadz untuk menderivasi makna. Imam Abu
Ishaq Ibrahim ibn Musa al Syatibi (w.790) menegaskan bahwa layak tidaknya suatu
lafadz disebut qoti’ dalalah (قطعية الدلالة)bergantung kepada keadaan
berikut: (1) periwayatan mengenai aspek kebahasaannya (نقل اللغة ) (2) tinjauan aspek tata
bahasanya(أراء النحو) (3) bukan kata berimbal(عدم الإشتراك) (4) bukan figuratife atau
metaforis (عدم المجاز) (5) apakah periwayatannya
berkaitan dengan syara’ atau adat (النقل الشرعي
أو العادي)
(6) sisipan (إضمار) (7) pengkhususan yang
umum (التخصيص للعموم) (8) Pengikatan yang mutlak (التقييد
للمطلق)(9)
tidak ada pembatalnya ( عدم الناسخ) (10) pendahuluan dan
pengakhiran ( التقديم والتأخير)(11) tidak ada kontradiksi logis
(عدم المعارض العقل).[5]
Aplikasi kaidah bahasa untuk menderivasi makna dengan muatan epistemology
qoti’ dan dzanni telah membentengi nash-nash dari permainan orang-orang yang
jahil untuk mementahkan syariah, membantah syubhat-syubhat yang senantiasa
berusaha untuk mencairkan nash-nash agama, berusaha melepaskan diri dari ikatan
syariah dengan tuduhan bahwasannya makna dalam ayat-ayat Al Quran mengalami
perubahan sesuai kondisi dan realitas, dan bahwasannya ayat-ayat itu tidak
menunjukkan suatu perintah ataupun larangan. Dalam makalah ini penulis
bermaksud memaparkan qoidah-qoidah ushul lughowi yang dirumuskan oleh para
ulama ushul sebagai kerangka teoritis dan methodologis guna memahami
karakteristik kata dan maknanya. Tetapi sebelumnya penulis akan memaparkan dulu
secara singkat problem makna dalam hermeneutik sebagai perbandingan dan untuk
mengetahui penyimpangan yang terjadi jika konsep ini diterapkan dalam al Quran.
B. PROBLEM MAKNA DALAM HERMENEUTIK
Sebagaimana yang sudah disampaikan pada pendahuluan bahwa makna dalam Islam
bersifat mengikat. Oleh karena itu sumber makna harus qoti’ tsubut dan
signifikansi maknanya pun harus qoti’ dalalah. Prinsip epistemologi ini tidak
didapatkan dalam hermeneutik. Ada lingkaran hermeneutic dimana makna senantiasa
berubah. Para hermeneot dituntut bersikap skeptive. Senantiasa meragukan
kebenaran darimanapun datangnya, sebagai implikasi dari paham relativisme.
Tidak ada tafsir yang mutlak benar. Semuanya relative. Pemikiran hermeneutic
ini lahir akibat problem otentisitas yang dialami Bibel. bibel yang dianggap
kalam Tuhan (God’s word) ternyata mayoritas adalah campur tangan manusia
belaka. [6] Berikut
dipaparkan beberapa pemikiran tokoh hermeneutik.
Gadamer merumuskan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau
dialektika soal jawab di mana pandangan keduabelah pihak melebur menjadi satu
hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Setiap jawaban adalah relative dan
tentative kebenarannya,senantiasa boleh dikritik dan ditolak.[7] Pemahaman
berkaitan erat dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta pemahaman
tentang realitas yang kita perbincangkan. Inilah yang dimaksud dengan dinamika
perpaduan berbagai macam faktor dalam sebuah bahasa. Pemahaman senantiasa dapat
diterapkan pada keadaan kita saat ini meskipun pemahaman itu berhubungan dengan
peristiwa masa lampau (sejarah), dialektika dan bahasa. Pemahaman tidak
pernah bersifat objective dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah memahami secara
statis dan diluar kerangka ruang dan waktu tetapi selalu dalam keadaan
tertentu, pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktu, misalnya dalam
sejarah. Semua pengalaman yang hidup itu menyejarah. Akan tetapi menurut
Gadamer, arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau (waktu teks itu
ditulis), tetapi juga mempunyai keterbukaan terhadap masa depan. Karenanya
menafsirkan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai sesuai
dengan sifat dari teks itu sendiri.[8]
Menurut Ricour otonomi teks ada tiga macam : intensi atau maksud pengarang,
situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu
dimaksudkan. Makna dalam tiga hermenetik circle itu mengalami reduksi. Materi
teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya
inilah yang dimaksud dengan dekontekstualisasi. Teks tersebut membuka diri
terhadap kemungkinan dibaca secara meluas dimana pembacaannya selalu
berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi. Hubungan
dengan dunia teks terletak dalam hubungan dengan subjektivitas pengarangnya dan
pada saat yang sama persoalan subjektivitas pembaca ditinggalkan. Untuk
memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri kedalam teks, melainkan
membuka diri terhadapnya.[9]
Bagi Emillo Betty, makna itu sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang
dan agen-agen historis. Makna dirujuk kepada bentuk-bentuk bermakna yang
merupakan objektivasi pemikiran manusia. objektivikasi yang sempurna bagi
Emillo tidak akan pernah diraih, Emillo Betty menegaskan yang ada hanya
objektivikasi yang relative. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang dialektis
antara aktualitas pemahaman dan objektivikasi-objektivikasi akal. Sekalipun
penafsiran objektiv dapat diraih namun Betty menyatakan penafsiran tidak akan
bisa sempurna dan final. Penafsiran objective tidak akan pernah bisa menjadi
absolute karena wujudnya jarak antara diskursus atau pembicaraan dengan
audiensnya. Bagi Betty makna seharusnya diderivasi dari texs dan bukan
dimasukkan kedalam teks. Meaning has to be derived from the text and not
imputed to it.[10]
C. KAIDAH USHUL BAHASA DALAM MENETAPKAN MAKNA
Manhaj Al Quran di dalam menerangkan makna-makna petunjuk adalah manhajnya
umat yang kepada mereka wahyu diturunkan. Al quran tidak memakai mufradat,
srtuktur, dan ilustrasi yang tidak diketahui oleh masyrakat Arab. Tidak
didapatkan dalam Al Quran kalimat yang tidak dipakai oleh masyrakat Arab.
Ataupun struktur kalimat yang sulit dipahami oleh masyrakat Arab secara
keseluruhan. Karena itu seorang yang hendak memahami nash dan menggali
hukum yang terkandung didalamnya harus menguasai bahasa Arab. Lebih jauh lagi
ia harus memahami detil-detil idiom (ibarah) dalam bahasa Arab beserta
pengertiannya. Sehingga memungkinkannya memahami nash dan mencari kejelasan
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Para ulama ushul telah melakukan pembagian lafadz berdasarkan klasifikasi
maknanya kepada beberapa pembagian untuk memudahkan pengkajian dan penulisan
pada satu sisi dan takhrij serta tarjih pada sisi lain. Pembagian tersebut
merupakan kaidah-kaedah yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash dan
menggali hukum-hukum taklify dari nash-nash tersebut. Apabila kaidah tersebut
diikuti oleh seorang ahli fiqh maka ia akan terhindar dari kesalahan dalam
istinbat hukum. Dalam membuat kaedah mereka berpedoman kepada dua hal sebagai
berikut : Pertama, المدلولات اللغوية (pengertian konotasi
kebahasaan), dan الفهم العربي (pemahaman yang didasarkan pada
citra rasa arab) terhadap nash-nash hukum al Quran dan as Sunnah. Kedua,
Penjelasan Nabi SAW terhadap hukum-hukum Al Quran. Dengan adanya tambahan
keterangan dari as Sunnah lafadz menjadi lebih jelas dan mempunyai kepastian
hukum.[11]
Pembagian lafadz berdasarkan pada klasifikasi maknanya sebagai berikut:
Pertama,dari segi kandungan pengertiannya, kedua,lafadz dari segi
penggunaannya, ketiga,lafadz dari segi kejelasan artinya,dan keempat lafadz
dari segi dilalahnya atas hukum. Penulis akan memfokuskan kajian pada dua
pembagian yaitu lafadz dari segi kejelasan artinya dan segi dilalahnya atas
hukum.
D. LAFADZ DARI SEGI KEJELASAN ARTINYA
Lafadz yang terang artinya terbagi kepada empat tingkat yang kekuatan dari
segi kejelasan artinya berbeda. Dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Dzahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
DZAHIR
Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami
maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang
jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan
maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafadnya.[12]
Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna yang
dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar, akan tetapi makna
itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks kalimat dan mengandung
kemungkinan adanya takwil.[13] Al Amidy
memberikan definisi: Lafadz Zahir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang
dimaksud berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan
kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafadz itu adanya maksud lain
dengan kemungkinan yang lemah.[14] Qodhi
Abi Ya’la merumuskan definisi : Lafadz yang mengandung kemungkinan dua makna ,
namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.[15] Definisi
yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf : lafadz yang
dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung
pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam
ungkapan, serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan.[16]
Contoh dzahir adalah firman Allah SWT ,
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾[17]
275.), padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini secara dzahir menunjukkan pembolehan jual
beli dan pengharaman riba, karena bisa dipahami tanpa perlu qorinah akan tetapi
konteks ayat menunjukkan perbedaan antara jual beli dan riba sebagai bantahan
atas anggapan orang-orang munafik yang menyamakan antara jual beli dan riba.
Maksud dari ayat ini bisa dipahami pada latar belakang diturunkannya ( asbabun nuzul).
Kehalalan jual beli dan keharaman riba sudah diketahui sebelum diturunkannya
ayat, kehalalan jual beli adalah makna yang pokok adapun keharaman riba
dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Barr tentang ayat ini,” adapun ayat
pengharaman riba telah diturunkan jauh mendahului sebagaimana yang ditunjukkan
oleh firman Allah SWT dalam QS Ali Imron[18],
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ
اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٣٠﴾[19]
130. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Demikian juga diriwayatkan oleh Assuyuti dalam
asbabunnuzulnya tentang ayat ini: Al Farabi telah mengeluarkan dari Mujahid
beliau mengatakan,” mereka melakukan jual beli dengan tempo apabila temponya
tiba mereka menambahkan harganya dan memperpanjang temponya maka turunlah ayat
ini. Juga dikeluarkan dari Ato beliau mengatakan,” adalah bani Tsaqif
berhutang pada Bani Nadir pada masa jahiliyah, apabila jatuh tempo mereka
mengatakan,” kami akan memberi tambahan pada piutang kalian dan kalian menangguhkan
tempo.” Maka turunlah ayat ini (QS Ali Imron 130).”[20] Oleh
karena itu menjadi jelaslah bahwa pengharaman riba telah ada jauh sebelum
ayat surah Al baqoroh ayat 275. Kesimpulannya QS Al Baqoroh ayat 275 ini
bukanlah mempunyai konteks makna penghalalan jual beli dan pengharaman riba.
Akan tetapi konteks ayat ini adalah untuk membantah anggapan orang-orang kafir
yang menyamakan hukum jual beli dan riba. Jadi nash ayat ini untuk menegaskan
perbedaan kedua transaksi tersebut. [21]
Meskipun dzahir bisa dipahami tanpa qorinah namun
tidak ada keterangan di dalam Al Quran yang tidak dilindungi dengan qorinah
hingga bisa disalah pahami. Contoh adalah firman Allah SWT,
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ
آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا
الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ
رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ ﴿٧﴾
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada
kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi
Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian
ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Dari ayat di atas dipahami
bahwasannya Allah itu esa dan tidak ada sekutu bagiNya. Dengan cara
menta’rifkan lafadz dua ujung pertamaهوالذي Allah mengkhususkan
penurunan Al Quran kepada Nabi Muhammad. Kalau ada Tuhan selain Allah niscaya
akan menurunkan Kitab seperti Al Quran kepada selain Nabi Muhammad.
Makna ini bukanlah yang dikehendaki secara asli, akan
tetapi bisa dipahami dari nazm dengan berlandaskan kaidah-kaidah pemahaman yang
sahih. Dengan demikian makna ini bersifat dzahir . dzahir disini bukan berarti
mudah dipahami oleh orang awam akan tetapi mempunyai makna sekunder. [22]
Tentang status hukum lafadz dzahir ini meski ada
perselisihan apakah lafadz dzahir memberi makna yakin dan qoti’, tapi para
fuqoha dan ulama ushul sepakat akan kewajiban melaksanakannya menurut lahirnya
selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafadz itu. Penetapan
hudud ‘uqubat syarie’ dan kifarat sah dilakukan dengan lafadz dzahir. [23]
Apabila hermeneutika diaplikasikan dalam lafadz dzahir
maka akan banyak ajaran-ajaran pokok Al Quran yang dimentahkan. Makna tauhid
dipaparkan lebih banyak dalam lafadz dzahir daripada nash. Hampir tidak ada
ayat dalam Al Quran yang tidak menyinggung tauhid. Demikian juga
petunjuk-petunjuk Al Quran sangat banyak disebutkan dalam lafadz dzahir. [24] Akan
terjadi pengkaburan makna tauhid pendangkalan akidah, dan dekonstruksi syariat
islam. Makna-makna yang qoti’ akan diragukan, hukum-hukum yang wajib diamalkan,
halal dan haram akan ditolak. Contoh firman Allah dalam Qs. al baqoroh 275,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾
Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. (Qs. al Baqoroh 275).
Dzahir ayat di atas adalah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Hukum ini jelas dan qoti’. Apabila hermeneutik diaplikasikan
pada dzahir ayat ini maka riba bisa menjadi halal dan jual beli menjadi haram.
Contoh lain adalah firman Allah Qs.Al Hasyr,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ﴿٧﴾
007. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah Qs. Al Hasyr ayat 7
Dzahir ayat diatas adalah memerintahkan untuk taat
kepada Rasul SAW. Makna ayat ini jelas dan qoti’. Menjalankan hukumnya adalah
wajib. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada ayat ini maka makna dzahir yang
qoti’ menjadi relative dan terbuka kemungkinan berubah. taat kepada Rasul
menjadi tidak wajib.
NASH
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah :
lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang
menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna
yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan
takhsis.[25]
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa
nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak
bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak
memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash
lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir
adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,
ذَلِك بِأَنَّهُمْ قَالُواْ
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
. sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba,
Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud
dengan konteks ayatواحل الله البيع وحرم الربا adalah menafikan persamaan
antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai
bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi
tersebut. Ayat ini yaitu واحل الله
البيع وحرم الربا secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman
riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga
datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran,
فَانكِحُواْ
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ﴿٣﴾[26]
Qorinah وثلاث ورباع datang setelah perintah menikah
untuk menunjukkan bahwa maksud konteks kalam adalah keterangan jumlah yang
diizinkan bagi seorang muslim. Maka ayat ini secara dzahir adalah penghalalan
pernikahan dan nash jumlah yang dibolehkan. Demikianlah qorinah sebagai pembeda
antara dzahir dan nash dan sebagai petunjuk bahwasannya nash itulah yang
dimaksud oleh kalam.[27]
Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib
melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam
dengan mengandung kemungkinan takwil takhsis dan naskh. Namun apabila
kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah
qot’i atau yakin.[28]
Meskipun berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban
mengamalkannya berdasarkan pemahaman makna secara langsung akan tetapi nash
lebih terang maknanya daripada dzahir. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan
asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya.
Oleh karena itu makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk
dipahami daripada makna yang lainnya yang tidak langsung.[29] Juga
kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis dan naskh itu lebih kecil daripada
dzahir. Atas dasar itu apabila terdapat pertentangan makna antara nash dan
dzahir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.[30]
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash al Quran
maka makna nash yang sudah jelas dan qoti’ akan akan kabur dan tidak pasti.
Hukum-hukum dalam nash al Quran yang wajib diamalkan akan ditolak.
Perkara-perkara metaphisik yang dijelaskan dalam nash akan diragukan. Contoh
firman Allah dalam Qs. al Baqoroh ayat
275,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَاَ ﴿٢٧٥﴾[31]
Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Qs. al Baqoroh ayat 275.
Ayat di atas adalah nash tentang perbedaan hukum jual
beli dan riba. Jual beli hukumnya halal sedangkan riba haram. Makna ini jelas
dan qoti’. Hukumnya juga wajib dilaksanakan.
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash tersebut.
maknanya menjadi kabur dan hukumnya ditolak. Sehingga akan mengantarkan kepada
kesimpulan tidak ada perbedaan antara jual beli dan riba.
MUFASSAR ((المفسر
Dengan ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga
menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi
tentang mufassar, diantaranya :
Al Sarkhisi memberi definisi : Nama bagi
sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang
tidak ada kemungkinan mengandung makna lain. Abdul Wahab Khalaf memberikan
definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada
maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya
makna lain dari lafadz tersebut.[32] Al Uddah
memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya
sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkannya.[33] Dari
definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat
lafadz mufassar itu: a.Penunjukannya terhadap makna jelas sekali. c.
Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar.
d. Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.[34]
Contohnya firman Allah tentang had zina
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ[35]
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. Annur 2) , dan tentang had qodzaf
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ﴿٤﴾
004. Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
Masing-masing lafadz yaitu : ((مئة dan ثمانين)) mufassar karena
ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan
penambahan. Dan firman Allah SWT,
وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً
كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
﴿٣٦﴾
dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.
Kalimat كافة menafikan kemungkinan adanya
takhsis.
Dengan demikian mufassar adalah lafadz atau kalam yang
disertai dengan bayan taqriri atau bayan tafsiri sehingga menjadi lebih jelas
daripada nash dan maksudnya bisa dipahami dengan sighot bukan dengan makna dari
mutakallim. Bayan Taqriri adalah keterangan yang memutus kemungkinan adanya
takhsis apabila lafadznya ‘aam dan kemungkinan adanya makna metaphor dan takwil
apabila lafadznya khos, sehingga lafadz menjadi kuat, pasti dan tegas seperti
ayat, وَقَاتِلُواْ
الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً.
Bayan Tafsiri adalah keterangan yang menghapus adanya
kesamaran yang menyelimuti kalam sehingga menjadikannya jelas, seperti firman
Allahفسجد الملائكة كلهم اجمعين nama malaikat bersifat umum
yang memungkinkan adanya takhsis karena ia adalah lafadz jama muarraf dengan
huruf laam hingga mengindikasikan ‘aam akan tetapi mengandung kemungkinan
takhsis adanya sebagian malaikat yang tidak bersujud, tetapi dengan adanya
lafadz كلهم hilanglah kemungkinan itu. Ini
bayan taqriri. Ketika ada tambahan أجمعون hilanglah kemungkinan para malaikat bersujud
sendiri-sendiri. Inilah bayan tafsiri yang menafsirkan cara bersujudnya para
malaikat dan memutus kemungkinan takwil.[36]
Hukum mufassar adalah wajib mengamalkannya.
Berdasarkan keterangannya yang terperinci dan dalalahnya yang qoti’. Pada
periode Rasululloh SAW mufassar mengandung kemungkinan dinaskh apabila termasuk
hukum yang boleh dinaskh. Adapun sesudah meninggalnya beliau seluruh hukum di
dalam Al Quran menjadi muhkam dengan terputusnya wahyu.[37]
Apabila metode hermeneutik diaplikasikan pada ayat
mufassar, maka ayat-ayat mujmal tetap dalam keadaan mujmalnya. Tidak ada makna
pasti yang memerinci ayat-ayat mujmal agar bisa diaplikasikan ke dalam taklif
syarie. Bagaiman pengertian sholat secara terminology syariah, pelaksanaan
zakat dan haji. Masing-masing orang akan melaksanakan praktek ibadah atas dasar
pemahamannya. Contoh mufassar adalah firman Allah,
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ
الزَّكَاةَ ﴿١١٠﴾[38]
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Qs. al
Baqoroh 110
Ayat di atas adalah perintah untuk menegakkan sholat
dan menuanaikan zakat secara mujmal. Kemudian Rasululloh SAW menjelaskan makna
dan pelaksanaan sholat dan zakat baik secara lisan maupun praktek. Maka lafadz
ayat yang mujmal naik menjadi mufassar sehingga tidak menerima takwil. Apabila
metode hermeneutic diterapkan, maka lafadz mujmal akan tetap samar. keterangan
yang memufassarkannya akan diragukan dan direlatifkan. Tidak ada pedoman yang
disepakati dan jelas dalam melaksanakan taklif syari’. Masing-masing orang akan
menafsirkan sendiri keterangan-keterangan yang mujmal.
AL MUHKAM (المحكم)
Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang
dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas
pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis. Bahkan terkadang
disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima
adanya nasakh.[39] Seperti
sabda Nabi SAW,” Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Dan seperti
firman Allah, “ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. QS. a-Nnur :4
Al Muhkam lebih kuat dari pada Al Mufassar tapi tidak
lebih terang. Dikatakan demikian karena Al Muhkam tidak menerima nasakh
sementara Al mufassar menerima. Ketidak menerimaan Al Muhkam terhadap naskh
tidak mempengaruhi kejelasan lafadznya. Sebab ketidak menerimaan naskh bukan bersumber
dari zat nash akan tetapi dari sebab yang lain. Oleh karena itu Almuhkam lebih
kuat dari lafadz-lafadz yang lain.
Ada dua perkara yang menjadi sebab Al Muhkam tidak
menerima naskh baik pada periode Rasululloh SAW maupun sesudah beliau wafat,
yaitu :
1. Nash muhkam yang mempunyai makna yang tidak
mungkin berubah. Seperti hukum-hukum pokok dalam agama antara lain iman kepada
Allah SWT, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,rasul-RasulNya dan iman kepada
hari akhir, iman kepada sifat-sifat Allah SWT.[40] Nash-nash
tentang pokok-pokok akhlak yang utama yang diakui oleh akal yang sehat seperti
kejujuran, menepati janji, amanah, bakti pada orang tua, sillaturrahmi dan
nash-nash yang bermakna berlawanan dari itu. Seperti dusta, khianat,zalim,
durhaka pada orang tua dan memutuskan sillaturrahim. Demikian juga apabila di
dalam nash terdapat lafadz yang menunjukkan atas keabadian makna.[41] seperti ayat
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا
أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَداً إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ
اللَّهِ عَظِيماً ﴿٥٣﴾
Kalimat أَبَدا menunjukkan secara jelas
bahwasannya hukumini berlaku selamanya. Ayat-ayat yang yang mempunyai makna
demikian seluruhnya beersifat muhkam lia’inihi atau lidzatihi karena
maknanya tidak mungkin berubah.
2. Nash yang mengandung kemungkinan naskh baik pada
lafadz maupun pada maknanya.Akan tetapi kemungkinan tersebut sirna karena
meninggalnya Rasululloh SAW sebelum ada keterangan tentang naskhnya. Nash yang
demikian masuk pada muhkam lighoirihi. Jadi seluruh bagian dari wadih dalalah
yaitu dzahir,nash dan mufassar menjadi muhkam setelah meninggalnya Rasululloh
SAW . Muhkam dalam arti bebas dari naskh bukan dari takhsis ataupun takwil.[42]
Para ulama ushul sepakat bahwa al muhkam menduduki
posisi tertinggi dalam kejelasan di antara derajat-derajat kejelasan lafadz. al
muhkam menunjukkan makna yang jelas dan tidak ada kemungkinan takwil, takhsis
dan naskh. Baik pada peride Rasululloh maupun sesudah beliau wafat. Wajib
mengamalkan hukum lafadz muhkam secara pasti (qoti’) tanpa mengandung
kemungkinan-kemungkinan alternatif lain dan tidak mungkin dinaskh oleh
lafadz lain. keterangan-keterangan tentang hal-hal yang metaphisis juga harus
diyakini.
Apabila metode hermeneutik diterapkan dalam lafadz
muhkam ini. Maka perkara-perkara yang tetap dalam agama akan berubah. Baik itu
tetap karena muhkam lidzatihi maupun karena muhkam lighoirihi. Contohnya adalah
firman Allah SWT dalam
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴿١٩﴾[43]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada
Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾[44]
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
قُلْ مَن
يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ
وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ
وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ ﴿٣١﴾[45]
Katakanlah: "Siapakah yang
memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab:
"Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa
(kepada-Nya)?"
Ayat-ayat ini adalah semuanya muhkam lidzatihi.
Dalalahnya jelas maknanya tidak mungkin berubah. baik karena takwil, takhsis
maupun naskh. Karena ia adalah perkara pokok agama. Apabila hermeneutik
diaplikasikan dalam lafadz ini maka perkara yang tetap akan berubah.
Pokok-pokok yang harus diyakini akan didangkalkan dengan teori relativisme
penafsiran.
Kesimpulannya adalah tidak ada makna yang jelas, tetap
dan qoti’ dalam hermeneutik. Baik dzahir, nash, mufassar maupun muhkam
belum final dan masih terbuka kemungkinan berubah sesuai dengan realitas dan
rasionalitas. Asumsi ini didasari oleh relativitas penafsiran. Semua penafsiran
adalah produk akal manusia sedangkan kebenaran akal manusia bersifat relative.
Yang mutlak adalah wahyu dan agama.
Penafsiran yang didasari oleh ketundukan terhadap
realitas nampak pada teori double movement Fazlurrahman[46]. Dari
situasi sekarang ke masa al-Quran diturunkan dan kembali ke masa kini. Fazlur
Rahman menerangkan ide double movement sebagai berikut :
“Gerakan pertama menempuh dua langkah. Pertama, orang
harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi
atau problem historis dimana pernyataan al Quran tersebut merupakan jawabannya.
Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, suatu kajian mengenai
situasi makro dalam batasan-batasan masyrakat, agama, adat istiadat,
lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada
saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah. Dengan tidak
mengkesampingkan peperangan-peperangan Persia-Bizantium akan harus dilakukan.
Jadi langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna al Quran
sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batasan-batasan ajaran-ajaran khusus
yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua adalah
menggenaralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat
disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis
dan rationes legis yang sering dinyatakan. Benar, langkah yang pertama memahami
makna dari ayat spesifik itu sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan
membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus diberikan kepada arah
ajaran al Quran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang
dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan
koheren dengan yang lainnya. Al quran sebagai suatu keseluruhan memang
menanamkan suatu sikap yang pasti terhadap hidup dan memiliki dan memiliki
suatu pandangan hidup yang konkret; ia juga mendakwakan bahwa ajarannya “ tidak
mengandung kontradiksi dalam, tetapi koheren secara keseluruhan”[47]
Fazlur Rahman menerangkan metode gerakan ganda tersebut sebagai berikut :
“sementara gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al
Quran ke penggalian dan sistemasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan
tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari
pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan
sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam
konteks sosio historis yang konkret di masa sekarang. Ini sekali lagi
memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur
komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi
sejarah sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas
baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al Quran secara baru pula.
Sejauh linkup kita mampu mencapai kedua momen dari gerakan ganda ini dengan
berhasil, perintah-perintah al quran akan menjadi hidup dan efektif kembali.” [48]
Dengan ide double movementnya ini Fazlurrahman telah
menjadikan hukum-hukum Al Quran tunduk dibawah situasi-situasi kondisional yang
terus menerus berubah. Al quran tidak dijadikan imam yang ditaati. Namun
ajaran-ajarannya dikompromikan agar sesuai dengan selera hawa nafsu.
hukum-hukum syari’ yang qoti’ dalam makna dzahir, nash, mufassar bahkan muhkam
dinegasikan. Fazlurrahman telah menolak keharaman riba, pembolehan poligami,
hudud dan hukum-hukum Islam lainnya. Menurut Rahman, Al Quran ketika
diturunkan dipengaruhi oleh situasi historis saat itu. Sehingga ia merasa perlu
mengklasifikasikan idea moral dan legal spesifik. Karena kondisi sekarang
berbeda ia mengatakan yang berlaku adalah idea moral dan bukan legal spesifik.
Dalam menolak poligami ia beralasan kondisi Arab ketika Al Quran diturunkan
tidak membatasi jumlah wanita untuk dinikahi. Maka Al Quran meresponnya dengan
membatasi empat istri. Inilah legal formal sedangkan idea moralnya adalah
pembatasan satu istri. Ketika Al Quran diaplikasikan saat ini maka yang berlaku
adalah idea moralnya yaitu satu istri.[49]
E. LAFADZ DITINJAU DARI TUJUAN PEMBICARA
Ditinjau dari aspek tujuan pembicara atau metode signifikansi lafadz atas
makna, lafadz dibagi menjadi empat, yaitu : (1) ‘Ibarah nash(عبارة النص) (2) Isyarah nash (اشارة النص) (3)Dilalah nash(دلالة النص) dan (4) Iqtidha nash(اقتضاء النص).
‘IBARAH NASH (عبارة النص)
Menurut Abu Zahroh ‘ibaroh nash adalah: makna yang
dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash
maupun zahir.[50] Maksudnya
adalah signifikansi lafadz atas makna yang dapat dipahami secara langsung
apakah menurut penggunaan asalnya (nash) ataupun bukan menurut asalnya
(dzahir). Perbedaan nash dan ibarah nash adalah bahwa ibarah nash mencakup
makna yang dimaksud dalam kalam dan makna yang sekunder sedangkan nash hanya
mencakup makna yang dimaksud oleh kalam.
Contohnya firman Allah SWT,
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى
وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْْ ﴿النساء٣﴾[51]
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Qs an Nisa; 3
Ayat ini menunjukkan kepada tiga hukum : Pertama,
kebolehan menikah. Kedua, kebolehan menikah lebih dari satu wanita sampai
empat. Ketiga, wajib membatasi hanya satu apabila khawatir tidak dapat berlaku
adil.
Dua poin yang terakhir adalah yang dimaksud secara
asli dari konteks ayat. Adapun yang pertama adalah makna sekunder. Ibarah nash
mencakup dua makna ini adapun nash hanya menunjukkan dua poin yang terakhir.
Karena nash secara istilah adalah makna yang dimaksud secara asli adapun poin
yang pertama bukan makna yang dimaksud.
ISYARAH NASH (إشارة النص)
Menurut Abu Zahrah isyarah nash adalah : Apa yang
ditunjuk oleh lafadz tidak melalui ‘ibarahnya.[52] Al Sarkhisi
dari ulama Hanafiyah memberi definisi : Apa yang terungkap memang bukan
ditunjukan untuk itu, namun dari perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna
dari lafadz itu, tidak lebih dan tidak kurang.[53] Jadi isyrah
nash adalah suatu makna hukum yang tidak dipahami oleh mukhotob tanpa
perenungan, makna hukum tersebut bukanlah maksud pembicaraan bukan pula konteks
makna yang ditujukan oleh kalam.
Contohnya firman Allah SWT,
وَعلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿البقرة٢٣٣﴾[54]
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma`ruf. Qs. Al-Baqoroh 233
Ayat ini adalah contoh bagi ‘ibarah nash dan isyarah
nash. Ayat di atas mengandung ‘ibarah nash karena mempunyai maksud dan konteks
makna kalam menerangkan kewajiban nafakah bagi ibu yang menyusui. Inilah yang
dipahami secara langsung dan dzahir. Demikian juga ayat ini mempunyai implikasi
isyarah nash karena secara mudah bisa dipahami bahwa nasab anak kepada
bapaknya. Karena anak dalam ayat tersebut diidofahkan kepada الوالد dengan huruf “lam” yang
menunjukkan kekhususan, kekhususan disini adalah kekhususan nasab bukan
kepemilikan. Makna isyarah ini adalah mafhum dari ayat dengan bantuan
pengamatan. Karena ia tidak sedzahir ‘ibarah dan bukan makna yang dimaksud
dalam konteks, namun kalam mengisyaratkan makna demikian.[55]
Hukum beramal dengan dua lafadz diatas adalah wajib,
namun perlu diperhatikan pada isyarah nash karena makna pada lafadz ini
kadang-kadang samar pada sebagian orang kecuali pada para fuqoha yang dalam
ilmunya. Apalagi kemampuan akal berbeda-beda dalam memahami, yang menyebabkan
terjadinya perbedaan dalam menangkap makna yang terkandung dalam isyrah nash.
Pada ‘ibaroh nash makna mudah dipahami karena dilalah cukup jelas meski
bagi orang yang bukan faqih.[56]
DILALAH NASH (دلالة النص)
Menurut Abu Zahrah dilalah nash adalah : Pengertian
secara implisit tentang suatu hukum lain yang dipahami dari pengertian
nash secara eksplisit (‘ibaroh nash) karena adanya faktor penyebab yang sama.[57] Al Sarkhasi
memberikan definisi : apa yang ditetapkan dengan makna menurut aturan bahasa
dan bukan melalui cara istinbat dengan menggunakan daya nalar.[58] Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa madlul (makna) dalalah nash bukanlah
suatu bentuk hukum akan tetapi suatu ‘illah hukum yang disebutkan dalam nash
hanya saja ‘illah tersebut tidak diketahui lewat ijtihad dan mengetahuinyapun
tidak dimonopoli oleh ahli ijtihad, akan tetapi juga dipahami oleh ahli bahasa
dengan analisa kebahasaan.
Ada sisi persamaan antara dilalah nash dengan qiyas
yaitu dua-duanya sama-sama bertolak dari ‘illah yang disebutkan dalam nash.
Perbedaannya adalah bahwa dalalah nash sandarannya adalah bahasa dan kaidahnya
sedangkan qiyas dibangun dengan ijtihad dan istinbat. Oleh karena itu dilalah
nash bisa dipahami oleh setiap ahli bahasa sedangkan qiyas tidak boleh kecuali
oleh orang yang mumpuni ilmunya dan pandangan yang tajam dalam aspek-aspek
syariat. Kalau yang pertama diterima oleh jumhur ulama sedangkan yang kedua
diperselisihkan.
Keumuman hukum sesuai dengan keumuman ‘illah.
Maksudnya hukum menjadi umum dan sama apabila terdapat illah yang diketahui
berdasarkan dilalah nash.[59]
IQTIDLO NASH (إقتضاء النص)
Menurut Abu Zahrah iqtidlo nash adalah :
signifikansi (dilalah) lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz
tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.[60] Iqtidlo
(tuntutan) bukanlah signifikansi atas makna lafadz baik dari ‘ibaroh maupun
mantuqnya, akan tetapi ia adalah dilalah yang mesti ada dan dipandang dari
makna diluar mantuq kalam. Agar kalam menjadi sah baik secara syara’ maupun
nalar sehingga sisi kebenarannya bisa diketahui. [61]
Keharusan mempertimbangkan makna dari luar sesuai
dengan tuntutan kebenaran kalam. tidak boleh lebih dari makna yang dianggap
benar baik oleh syari’ maupun logika. Contohnya firman Allah SWT,
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ
بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan
cara yang baik (pula)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa jika keluarga orang
yang dibunuh telah memaafkan, maaf hendaklah diikuti dengan sikap yang baik
kepada orang yang telah diberi maaf. Yakni sebagai konsuekuensi logis dari
sikap memaafkan tersebut ialah adanya imbalan harta benda yang diharapkan oleh
orang yang memaafkan. Oleh karena itu adanya perintah untuk mengikuti dengan
sikap yang baik dimaksudkan agar supaya orang yang memberi maaf diberi uang
imbalan yang nilainya sama dengan diyat atau kurang. Karena sikap yang baik
dari orang yang memberi maaf tersebut tak akan terjadi kecuali bila ia diberi
uang imbalan.[63]
Keadaan qoti’yyah dan dzanniyyah makna masing-masing
bagian diatas bisa diperinci sebagai berikut: (1) Ibaroh nash mempunyai makna qoti’ secara mutlak. (2) Isyarah nash
bergantung pada qorinah. Menjadi qoti’atau dzanni sesuai dengan keadaan
qorinah. (3) kedudukan makna dalalah nash seperti isyarah nash (4) dalalah
iqtidlo apabila maknanya secara syari’ dan logis bisa diterima menjadi lebih
kuat dari qiyas. [64]
Apabila hermeneutiknya Paul Ricour diapliasikan
pada ibarah nash dan isyarah nash maka makna yang ada pada ibarah dan isyarah
nash akan menyimpang tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh mutakallim. Karena
dengan teori dekonstektualisasi makna akan lepas dari apa yang dikehendaki oleh
mutakallim dan dengan teori rekonstektualisasi mufassir berhak menafsirkan teks
sesuai yang diinginkan terlepas dari maksud mutakallim.
Inilah yang telah dilakukan oleh Syahrur dalam teori
kaynunah (kondisi berada), dimana teks turun dengan hukum yang diberlakukan
waktu itu, sayrurah (kondisi berproses) yang berarti adanya perubahan waktu dan
tempat, dan shayrurah (kondisi menjadi), dimana teks diposisikan otonom yang
bisa ditafsirkan sesuai dengan konteksnya dengan spekulasi yang tidak lepas dari
syubjektivitas. Syahrur mengatakan,
“al Quran yang selalu dijaga oleh kekuatan ilahi
(Tuhan), adalah suatu kekayaan yang telah dimiliki oleh generasi paling awal
hingga generasi sekarang. Karena masing-masing generasi menafsirkan Al Quran
berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada
abad ke-20 ini juga berhak menafsirkan al Quran berdasar semangat zaman yang
mencitrakan kondisi pada masa sekarang.[65]
Penutup
Kaidah bahasa dalam menetapkan makna ayat-ayat hukum menghasilkan makna
yang pasti, jelas dan qoti’ pada keumuman syariat guna memperoleh kepastian dan
ketetapan hukum. Hal ini didukung oleh sifat bahasa Arab yang ilmiyah. Bahasa
Arab adalah suatu ilmu yang dapat diketahui dengan pasti, arti kata-katanya dan
konsep-konsep pentingnya yang benar tidaklah relative dan tidak terus menerus
berubah. Jika relative dan berubah-rubah ilmu pengetahuan mengenai Al Quran dan
ajaran-ajaran Nabi yang benar tidak mungkin diketahui. Fungsi bahasa Arab
sebagai alat interpretasi wahyu Al Quran dan komunikasi antara Tuhan dengan
hamba-hambaNya menjadikannya mampu menggambarkan realitas dengan cara yang
benar.[66]
Empat pembagian lafadz ini dari sisi kejelasan lafadznya maupun dari sisi
maksud mutakallim mempunyai derajat kejelasan yang berbeda-beda. Nash lebih
jelas dari dzahir. Nash dan dzahir sama-sama mempunyai kejelasan makna bagi
pendengarnya. Namun nash mempunyai qorinah nutqiyyah yang membuatnya
lebih jelas daripada dzahir, baik yang datang mendahului lafadz maupun yang
datang menyusul sesudahnya. Qorinah nutqiyyah inilah yang menjelaskan
bahwasannya nash itulah yang dimaksud dalam konteks kalam.
Mufassar lebih jelas dan lebih kuat daripada nash. Mufassar mempunyai wasf
(sifat) yang membuatnya lebih kuat daripada nash. Mufassar tidak menerima
takwil dan takhsis sementara nash menerima. Akan tetapi mufassar terbuka
kemungkinan dinaskh oleh Al Quran atau Asunnah pada periode Rasululloh SAW
masih hidup. Sepeninggalnya beliau kemungkinan itu sudah tertutup.
Demikian juga Al Muhkam lebih kuat daripada mufassar. Karena sejak awal
kedatangannya pada periode Rasuluulloh tidak menerima naskh, sementra mufassar
menerima. Perbedaan-perbedaan derajat kejelasan lafadz ini nampak pengaruhnya
ketika terjadi ta’arud (pertentangan). Dimana lafadz yang lebih kuat
ditarjihkan atas lafadz yang lebih rendah kekuatan kejelasannya. Ta’arud
antar lafadz-lafadz ini hanya bersifat performance saja bukan
bersifat hakiki. karena persamaan makna adalah syarat diterimanya lafadz-lafadz
yang bertentangan ini. Dinamakan ta’arud hanya bahasa metaphor saja.
Makna-makna yang dikandung dalam lafadz dzahir dan nash (apabila tidak ada
takhsis, takwil dan naskh), lafadz mufassar (apabila tidak ada naskh) dan
lafadz muhkam, adalah makna yang bersifat tauqifi (given) sehingga tidak bisa
disimpangkan dengan cara-cara spekulatif. Makna lafadz apabila bersumber dari
nash yang qot’iyyutsubut dan qotiyyudalalh, bersifat pasti, tetap dan final,
tidak dibatasi oleh kondisi ataupun konsepsi sejarah maupun sebab. Nash-nash
yang datang karena sebab tertentu, sebab tersebut menjadi penegas makna namun
lafadznya berlaku secara umum. Kekhususan sebab tidak bisa menjadi penghalang
bagi keumuman lafadz. Seperti misalnya , ayat dzihar turun untuk khoulah
binti Tsa’labah istrinya Aus bin Shamit, ayat lia’n turun untuk Hilal bin
Umayyah, ayat pencurian turun untuk Sofwan, hadist, air itu suci dan tidak
dinajisi oleh apapun kecuali apabila rasanyanya berubah, atau baunya atau
warnanya. Adalah jawaban atas pertanyaan tentang air sumur bidoah.
Sebagaiman pada pembagian lafadz dari sisi kejelasan
maknanya terasa pengaruhnya ketika terjadi ta’arud. Demikian juga pembagian
lafadz dari sisi maksud mutakallim. Sebagai contoh adalah, hadist Nabi
SAW, “ masa haid paling sedikit adalah tiga hari dan paling banyak adalah
sepuluh hari.”[67] Secara
ibarah keterangan ini menunjukkan dengan jelas masa paling sebentar dan paling
lama haid. Juga diriwayatkan dari Rasululloh SAW beliau mengatakan,” salah
seorang diantara kalian tinggal dalam separuh waktunya di rumah tidak sholat
dan tidak puasa.” Maksudnya adalah kaum wanita menghabiskan separuh usianya
tidak sholat dan tidak puasa, isyarah nash ini menunjukkan bahwa masa haid
paling lama adalah lima belas hari, karena Nabi menyebutkan kegiatan dalam
separuh usia demikian, hal ini mempunyai implikasi makna masa haid setiap bulan
lima belas hari. Ada pertentangan antara ibarah nash dengan isyarah nash dalam
menerangkan masa haid paling lama. Maka ibarah nash ditarjihkan karena ia lebih
kuat.
Hukum yang tetap dengan sighatnya dengan disertai konteks kalam adalah
ibarah nash dan disebut “ tsabit biibaraoh nash. Hukum yang tetap dengan
sighotnya tidak disertai dengan makna konteks adalah isyrah nash dan disebut
tsabit biisyarah nash. Hukum yang tetap tidak dengan sighotnya tetapi dengan
sighot bahasanya adalah dilalah nash dan disebut tsabit bidalalah nash. Hukum
yang tetap tidak dengan sighot tidak pula makna shighot akan tetapi dengan
suatu unsur tambahan yang ada baik secara logika maupun syari’ adalah muqtadla
nash dan disebut tsabit bimuqtadlo nash. Demikianlah tidak
ada celah untuk menetapakn makna lafadz diluar ibarah nash, isyarah nash,
dilalah nash dan iqtidlo nash. Karena makna yang dikandung lafadz harus dalam
koridor maksud mutakallim. Menetapkan makna dengan berdasarkan teori
dekonstektualisasi dan rekonstektualisasi Paul Ricour hanya akan menghasilkan
hukum yang menuruti keinginan hawa nafsu. tidak ada hak manusia untuk melakukan
intervensi atas sesuatu hak Allah. Makna adalah apa yang dikehendaki oleh Allah
bukan apa yang dikehendaki manusia.
Pokok-pokok syariat yang sebagian besar masalah-masalah aqidah, ibadah,
muharramat (perkara-perkara yang diharamkan) serta akhlak, adalah perkara-perkara
tsawabit ( yang tetap) yang bersifat qoti’ dan mawadai’ al ijma yang oleh Allah
ditegakkan dengan hujjah-hujjah yang terang dalam kitabNya, atau melalui lesan
NabiNya SAW. Tak ada ruang untuk di dalamnya untuk pengembangan atau untuk
ijtihad. Barang siapa menyelisihinya maka ia telah menyimpang.[68] Adapun dalam
perkara-perkara yang mutaghayyirat adalah perkara-perkara yang tidak didukung
oleh dalil yang qoti’ dari nash yang sahih atau ijma yang sorih.Terbuka untuk
dilakukan ijtihad untuk memahami maknanya. Imam Assyafii’ memberikan contoh
kata (القرء) dalam ayat Al Quran. Ayat
tersebut tafsirannya mengandung dua makna, yakni suci dari haid dan haid.[69]
DAFTAR PUSTAKA
Wan Moh Nor Wan
Daud, Filsafat dan
Praktek Pendidikan Islam SM. Naquib Al Attas, Penerbit
Mizan, Bandung, Ttt.
Imam Syatibi, Al Muwafaqot fii Ushul As Syariah, Beirut Daar Kutub Al Ilmiyyah,2005
Syamsuddin Arief,Orientalisme dan Diabolisme Intelektual, Gema Insani,2008
Asep Hidayat, Filsafat Bahasa, Remaja Rosda Karya Bandung,2006
E. Sumaryono, Hermeneutika sebuah metode Filsafat, penerbit Kanisius, 1999
Muhammad Abu
Zahroh, Ushul Fiqh, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta 2008
Abdulloh Yusuf
Mustofa Al Azzam, Dilalah Al
Kitab Waassunnah ‘ala ahkam, jamiyyah Al Azhar kulliyyah
Assyariah Kairo Mesir 1993
Al Sarkhasi, Ushul Al Sarkhasi, Daar
Almarifah, Beirut 1993
Saifuddin Al
Amidy Al Ihkam fii Ushul al ahkam, Muassasah al Halabi Kairo
Abu Ya’la,
Muhammad ibn Al Husyn al Farra, Al uddah Fii Ushul Fiqh, Daarul Kutub Al
Ilmiyyah, (Beirut 2002)
Abdul Wahab
Kholaf, Ushul Fiqh, Pustaka Amani, (Jakarta 2003)
Ibnu Hajar Al
Asqolani, Fathul Barr
Jalaluddin
Assuyuti, Lubabunnuqul, fii
Asbabinnuzul,Daar Ma’rifah Beirut 2000
Muhammad Taufik
Muhammad Said, Dilalah Alfadz
‘ala Al Maani, Maktabah Wahbah Kairo 2009
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2008
Wahbah Zuhaily,
Ushul Fiqh Al Islami, Daarul fikr, Damaskus 1986
Al Hambaly, Al Uddah fii ushul Fiqh, Daar Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Lebanon
Abdul karim
Zaidan, Al Wajiz fii
Ushul Fiqh, Daarussalam, Kairo 2004
Fazlurrahman, Islam dan Tantangan Modernitas, Transformasi Intelektual, penerbit pustaka, (Bandung 2005)
M. Syahrur, Al Kitab wa Al Quran, Qiroah Al Muasiroh, terjemahan Prinsip Dasar Hermeneutka Islam Kontemporer,
Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan
Tinggi, Gema Insani, Jakarta 2006
[1] Kaidah ini penting untuk
menafsirkan teks-teks berbahasa Arab, karena kaidah-kaidah ini adalah parameter
dan rambu-rambu untuk memahami kalimat-kalimat berbahasa Arab, qonun apapun
yang berbahasa Arab dalam memahami lafadznya tunduk kepada parameter ini.
Mengabaikan kaidah bahasa ini dalam menafsirkan nash akan menyebabkan kesalahan
dalam memahami hukum yang berimplikasi pada kesalahan penerapan nash-nash.
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat
dan Praktek Pendidikan Islam S.M. Naquib Al Attas, penerbit Mizan,
(Bandung, Ttt) h. 361
[3] Ibnu Faris mengatakan,” Berdasarkan
petunjuk analogi bahasa makna adalah maksud yang nampak dalam sesuatu apabila
dicari, yaitu yang nampak dalam kandungan lafadz. Lihat: Muhammad Taufik, Dilaalatu
al- Alfadz ‘Ala al-Ma’na, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009 ) h. 39
[4] Syamsuddin Arief, Prinsip-Prinsip
Dasar Epistemologi Islam, dalam jurnal ISLAMIA, Thn II,no.5/April-Juni
2005, h. 34
[5] Imam Asy- Syathibi, Al-
Muwaafaqot Fii Ushul Asy- Syariah, Daar Kutub al- ‘Ilmiyyah, (Beirut, 2005)
h. 24
[10] Adian Husaini, Hegemoni Kristen
Barat dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Gema Insani, (Jakarta 2006)
hal 152
[11] Lihat Muhammad Abu Zahroh, Ushul
Fiqh, Penerbit Pustaka Firdaus, (Jakarta, 2008) h. 167. Lihat juga:
Abdulloh Yusuf Musthofa ‘Azzam, Dilaalah Al- Kitaab wa As- Sunnah ‘Ala al- Ahkaam,
Jam’iyyah Al- Azhar Kulliyyah Asy- Syariah, (Mesir, 1993) h………………….
[12] Abdulloh Yusuf Musthofa ‘Azzam, Dilaalah
Al- Kitaab wa As- Sunnah ‘Ala al- Ahkaam, Jam’iyyah Al- Azhar Kulliyyah
Asy- Syariah, (Mesir, 199) h. 104
[14] Sayf al- Din Abi Hasan ‘Ali Ibn
‘Ali al-am al-amidy, Al- Ihkam Fii Ushul al- Ahkam, Muassasah al Halabi,
(Kairo, 1967) h.
[15] Abu Ya’la Muhammad Ibn al- Husayn
al- Farra’, Al- ‘Uddah Fii Ushul Fiqh, Daar al- Kutub al- ‘Ilmiyah,
(Beirut, 1990) h…………….
[20] Jalaluddin Assuyuthi, Lubabunnuqul
Fii Asbaab An- Nuzuul, Daar Ma’rifah, (Beirut, 2000) h. 51-52
[22] Muhammad Taufik Muhammad Sa’id, Dilaalatu
al- Alfadz ‘Ala Al- Ma’ani, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009) h. 573
[23] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Kencana Prenada Media Group, Jilid 2, (Jakarta, 2009) h. 6. Lihat juga:
Abdullah ‘Azzam, Dilaalatu al- Kitab wa as- Sunnah ‘Ala al- Ahkam,
Al Azhar Kulliyyat Syariah, (Mesir, 1993) h. 125
[24] Muhammad Taufik Muhammad Sa’id, Dilaalatul
al- Alfadz ‘Ala al- Ma’ani, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009) h. 575
[30] Abdulloh Musthofa ‘Azzam, Dilaalatu
al- Alkitab wa As- Sunnah ‘Ala al- Ahkaam, Jam’iyyah Al- Azhar Kulliyyah
Asy- syari’ah, (Mesir, 1993) h. 143
[40] Lihat Abdulloh Mustofa Azzam, Dilalah
Alkitab Waassunnah Ala Al Ahkam, Jamiyyah Al Azhar kulliyyah Assyariah,
(Kairo Mesir 1993) h.183
[46] Fazlurrahman, Islam dan
Modernitas, tentang Transformasi Intelektual , Penerbit Pustaka,
(Bandung1985)h. 6
[47] Fazlurrahman, Islam dan
Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual , Penerbit Pustaka,
(Bandung1985) hal 7
[48] Fazlurrahman, Islam dan
Modernitas, tentang Transformasi Intelektual , Penerbit Pustaka(Bandung,
1985) hal 8
[65] M. Syahrur Al Kitab Wa Al Quran;
qiroah muasiroh, terjemahan prinsip dasar hermeneutika hum
islam kontemporer, Yogyakarta,2007, hal 6 [66] Lihat Wan Mohd Nor
Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam SM Naquib Al Attas,
penerbit Mizan, hal 354
[67] Diriwayatkan secara marfu’ dan
mauquf, yang mauquf kebanyakan oleh Daaruqutny dalam kitab haid antara halaman
19 sampai 30. Sedangkan yang marfu’ diriwayatkan oleh Abi Imamah, wastilah bin
Asqo’, muadz bin jabal, Abu Said bin Al Khudri, anas bin Malik dan Abdulloh bin
amru bin Ash diriwayatkan oleh Attobroni, Daaruqutni, Ibnu Adi,Ibnu Hibban dan
Ibnu Jauzi ( Nasbu Royah 191-193, Daaru Qutni dengan ta’liq dari Al Mughni
jilid hal 218 dan Mujma’ azzawaid jilid 1 hal 385).
[68] Sholah Ash Showi, Atsawabit
walmutaghayyirat , Al Muntada al Islami, Daarul Ilam Ad Duwali , (Kairo
Mesir 1994) hal 67
http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/ushul-fiqh-amr-nahi-mujmal-dan-mubayyan/s
A. AMR
- Perintah dan kriterianya
Menurut
bahasa arab artinya perintah, menurut istilah suatu lafadz yang didalamnya
menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada
bawahan.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa Amr
itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amr, tetapi ditunjukkan
pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah, sebab
perintah itu terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz (samar).
Jadi
Amr merupakan
suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan, jika tidak demikian maka tidak termasuk kategori Amr.
Syarat yang harus ada pada kata Amr (permintaan) adalah :
a. Harus berupa ucapan permintaan (Amr) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan (Amr)
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu
bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab
jika dari bawahan namanya do’a.
- Bentuk-bentuk
Menurut Hudhori Bik di dalam Tarikh Tasyri disampaikan
beberapa bentuk Amr
antara lain :
a. Melalui lafadz amara
dan seakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan).
b. Menggunakan lafadz kutiba atau diwajibkan.
c. Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (Jumlah Khabariyah), tetapi yang
dimaksud adalah perintah.
d. Perintah yang menggunakan kata kerja perintah
langsung.
e. Fiil
Mudhari’ yang
disertai Lam Amr (huruf lam yang mengandung
perintah).
f. Perintah dengan menggunakan lafadz faradha
g. Perintah dalam bentuk penilaian bahwa itu baik.
h. Perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi
pelakuknya.
- Hukum-hukum yang mungkin ditunjukkan oleh bentuk Amr.
Menurut Adib Saleh ahli Ushul Fiqh
asal Damaskus, berbagai bentuk Amr
diatas membawa beberapa pengertian antara lain :
a. Menunjukkan hukum wajib, seperti perintah shalat
dalam surat al-Baqarah : 110 :
(#qßJŠÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨“9$#
Artinya :
“Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat.”
b. Menjelaskan bahwa sesuatau itu Mubah hukumnya, seperti
firman Allah surat al-Mukminun : 51
$pkš‰r‘¯»tƒ
ã@ß™”9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh‹©Ü9$#
Artinya :
“Hai Rasul-Rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik”
c. Untuk menunjukkan anjuran, seperti perintah menulis
hutang piutang dalam surat Al-Baqarah : 282.
$yg•ƒr‘¯»tƒ
šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B
çnqç7çFò2$$sù
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
d. Untuk melemahkan, seperti firman Allah surat
al-Baqarah : 23 :
bÎ)ur öNçFZà2 ’Îû 5=÷ƒu‘ $£JÏiB $uZø9¨“tR 4’n?tã
$tRωö7tã (#qè?ù‘sù ;ou‘qÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#y‰ygä©
`ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹
Artinya :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami
wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal
Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar.”
e. Sebagai ejekan dan penghinaan, seperti firman Allah
surat al-Dukhan : 49 :
ø-èŒ š¨RÎ) |MRr& Ⓝ͓yèø9$# ãLqÌx6ø9$#
Artinya :
“Rasakanlah, Sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi
mulia”.
B. NAHI
1. Pengertian.
Dalam bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u). Menurut istilah
meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain yang
tingkatannya dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.
Jadi
Nahi adalah
suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan,
yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Ÿwur (#r߉šøÿè? †Îû ÇÚö‘F{$#
Artinya :
“Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi”.
Melarang perbuatan kerusakan dimuka bumi berarti
perintah menjaga kelestarian lingkungan dengan menciptakan lingkungan yang
bersih, sehat dan nyaman.
Dengan demikian jika suatu perbuatan itu dilarang maka
saat itu juga harus segera ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang
masa.
2. Pendapat Al-Ghazali dan al-Amidi bahwa arti yang
terkandung dalam Nahi
itu ada tujuh macam antara lain :
a. Al-Tahrim,
seperti ayat :
وَلاَتَقْتُلُوْ النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ الله اِلاَّ
بِاالْحَقِّ
Artinya:
“Janganlah kalian membunuh
seseorang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak.”
b. Al-Karahah,
seperti hadits :
لاَيُمْسِكِ ذَكَرَهُ بِيَمِنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ (رواه
اصحاب الكتب الاضلم)
Artinya :
“Janganlah kalian memegang dzakar
(kemaluan) dengan tangan kanan ketika buang air kecil”.
c. Al-Do’a,
seperti ayat :
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْ بَنَا بَعْدَ
اِذْهَدَيْتَنَا
Artinya:
“Ya Allah janganlah kamu tutup
hatiku setelah engkau memberi petunjuk padaku”.
d. Al-Irsyad
(petunjuk), seperti ayat :
لاَتَسْئَلُوْا عَنْ اَشْيَاءٍ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ
تَسُؤْكُمْ
Artinya:
“Janganlah kalian bertanya
tentang sesuatu yang apabila ditampakkan maka kalian mendapati tercela”.
e. Al-Taqbih
(menegur), seperti ayat :
وَلاَتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلَى مَا مَتَعْنَا بِهِ
اَزْوَاجًا مِنْهُمْ
f. Tais
( تَيْئِسْputus asa), seperti ayat :
لاَتَعْتَذِرُوْا الْيَوْمَ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ
مَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Artinya:
“Janganlah kalian beralasan pada
hari ini karena sesungguhnya akan dibalas amal-amal yang telah kalian lakukan”.
g. Menjelaskan adanya akibat (bayan al-aqibah), seperti
ayat :
وَلاَتَحْسَبَنَّ الله غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلْ الظَّا
لِمُوْنَ
Artinya:
“Janganlah kalian menyangka Allah
adalah Dzat yang lupa atas perkara yang telah dilakukan oleh orang-orang yang
telah berbuat kedzaliman”.
3. Bentuk-bentuk Nahi.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan
oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya :
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti
dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 :
4‘sS÷Ztƒur
Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur
Artinya :
“Dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan
diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf
:
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }‘În/u‘ |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß
$pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$#
Artinya:
Katakanlah : “Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar”.
c. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu
tidak halal dilakukan contoh, surat An-Nisa’ ayat 19 :
$yg•ƒr‘¯»tƒ
z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw ‘@Ïts† öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $döx.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
d. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk
sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam
yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am
ayat 152 :
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd
ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ çn£‰ä©r&
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa”.
e. Larangan dengan memakai kata perintah namun
bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 :
(#râ‘sŒur tÎg»sß ÉOøOM}$# ÿçmoYÏÛ$t/ur
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang
tersembunyi”.
f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan
siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.
šúïÏ%©!$#ur šcrã”Éõ3tƒ |=yd©%!$# spžÒÏÿø9$#ur Ÿwur
$pktXqà)ÏÿZム’Îû È@‹Î6y™ «!$# Nèd÷ŽÅe³t7sù A>#x‹yèÎ/ 5OŠÏ9r&
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih”.
g. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan
keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180.
Ÿwur ¨ûtù|¡øts†
tûïÏ%©!$# tbqè=y‚ö7tƒ !$yJÎ/ ãNßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù uqèd #ZŽöyz
Nçl°;
“Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu
sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193.
ÈbÎ*sù (#öqpktJR$#
Ÿxsù tbºurô‰ãã žwÎ) ’n?tã tûüÏHÍ>»©à9$#
“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.
C. MUJMAL
1. Pengertian
Dalam bahasa artinya dalah global atau tidak
terperinci. Menurut istilah lafadz-lafadz yang tidak dapat
dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuatan mujmal (syara’).
Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa mujmal
suatu lafadz yang dzatiahnya
khilafi, tidak bisa dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari syara’, seperti shalat,
zakat dan riba.
Ada beberapa sebab suatu lafadz disebut mujmal, yaitu :
a. Lafadz
yang mempunyai makna mustarak
tanpa diiringi oleh indikator (qarinah)
sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya
lafadz qur`in dalam firman Allah
SWT surat al-Baqarah : 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr‘Î/ spsW»n=rO
&äÿrãè%
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”
b. Suatu lafadz yang maknanya secara bahasa aneh atau
ganjil, seperti kata halu’a pada
firman Allah surat al-Ma’arij 19-21
¨bÎ) z`»|¡SM}$# t,Î=äz %·æqè=yd .
#sŒÎ) çm¡¡tB •ޤ³9$# $Yãrâ“y_ . #sŒÎ)ur çm¡¡tB çŽösƒø:$# $¸ãqãZtB
Artinya :
“Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,”
c.
Pemindahan lafadz dari makna kebahasa menuju makna secara istilah atau menurut Syara’, seperti lafadz Shalat, Zakat,
Puasa dan Haji.
D. MUBAYYAN
1. Pengertian
Mubayyan
adalah mengeluarkan sesuatu lafadz
dari kerancuan dan tidak adanya arti yang dapat dipahami, sampai artinya
menjadi jelas dan bisa dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bisa
menunjukkan pada arti yang dikehendaki.
2. Dilihat dari kejelasan maknanya
Mubayyan
dibagi menjadi 2 bentuk :
a. Al-Wadhih bi Nafsihi yaitu lafadz yang
telah jelas maknanya sejak awal penggunaan sehingga tidak membutuhkan
penjelasan lafadz lain. Kejelasan
lafadz ini diketahui melalui :
1) Pendekatan bahasa, seperti firman Allah surat Al-Baqarah : 281
ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ
Artinya:
“Dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu”.
2) Dengan menggunakan akal, seperti firman Allah surat
yusuf : 82
. È@t«ó™ur sptƒös)ø9$# ÓÉL©9$#
$¨Zà2 $pkŽÏù uŽÏèø9$#ur ûÓÉL©9$# $uZù=t6ø%r& $pkŽÏù (
Artinya :
“Dan tanyalah (penduduk) negeri
yang kami berada disitu”.
b. Al-Wadih bi ghairihi, yaitu untuk
mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafadz-lafadz lain misalnya,
firman Allah surat al-Maidah : 141
وَاتُو
حَقَّهُ يَوْمً حَصَادِهِ
Astinya :
“Dan tunaikanlah haknya dihari
memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).”
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa nahi, amar, mujmal dan mubayan merupakan metode
untuk mengetahui dan memahami kejelasan makna yang terkandung dalam al-quran
dan sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Satria dan M. Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta :
Rencana Prenada Media group.
Firdaus. 2004. Ushul
Fiqh. Jakarta : Zikrul Hakim.
Safe’i, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fikih. Bandung : CV. Pustaka
Setia.
Zein, Muhammad Ma’sum. 2008. Zubdah Ushul Al- fiqh.
Jawa Timur : Darul Hikmah.
Sumber:
http://makalah-makalahkuliah.blogspot.com/2010/06/u-fiqh_5840.htmlhttp://makalah-makalahkuliah.blogspot.com/2010/06/u-fiqh_5840.html